Wednesday 11 September 2013

Beliau, Salah Satu Guru

Bukan tanpa alasan mengapa saya mengagumi pribadi beliau. Seorang guru yang selalu berkopyah putih, bersarung kotak-kotak, dan berbaju hem lengan pendek itu sangat khumul (low profile), namun kepribadiannya cukup terkenal. Ada aura kewibawaan yang memancar dari cara beliau berjalan yang selalu menundukkan kepala menampakkan kesederhanaan.

Apa yang membuat saya kagum? Apa yang membuat saya menundukkan separuh badan saat lewat di depan beliau? Apakah beliau seorang penyanyi papan atas seperti Ariel Noah, atau orang super sibuk yang selalu mengenakan dasi dan jas hitam, atau beliau hanyalah orang pinggiran yang sama sekali tidak terpandang di mata kalangan elit? Sudah pasti beliau bukan seorang nabi, dan sudah jelas bukan rasul. Rasulullah Muhammad adalah khâtamun-nabiyyîn walmursalîn. Entah kalau wali, hanya Allah yang mengetahui.

Beliau adalah salah satu alumnus pesantren di Jawa Timur, sebuah pesantren tercinta tempat saya menimba ilmu agama dulu. Intelektualitas dan kealiman beliau tidak diragukan lagi. Meski demikian, beliau memahami bagaimana bersosial secara baik dan santun dengan orang lain. Cara beliau berinteraksi dengan orang-orang tidak muluk-muluk, fair, familiar, dan biasa-biasa saja. Bibir yang selalu tersenyum adalah ciri pribadi beliau.

Dalam masalah produktivitas, sudah puluhan buku yang dihasilkan. Sebagian buku beliau sudah terjual di Gramedia. Saya pernah pergi ke Gramedia Jember, mendapati buku karangan beliau, dan saya membelinya.

Artikel-artikel ilmiah dan tulisan-tulisan populer beliau sering mengisi majalah-majalah dan jurnal-jurnal milik pesantren, perguruan tinggi, Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, dan sebagainya. Beliau juga sering menjadi narasumber di seminar, kuliyah umum, dan diskusi panel yang dihelat di dalam negeri maupun di luar negeri, Malaysia misalnya. Yang jelas, undangan beliau menumpuk dan berjubel. Saking banyaknya undangan yang datang, beliau harus berusaha mengoptimalkan waktu agar semua undangan sebisa mungkin dihadiri.

Beliau bisa disebut orang sibuk, tapi juga bisa disebut penganggur. Dikatakan orang sibuk karena memang demikian adanya. Dikatakan penganggur karena kendati sibuk, kesibukannya seakan tidak memancar dalam diri beliau. Keringat beliau selalu ditutupi oleh sikap sederhana. Adalah hal lumrah jika beliau selalu tersenyum meskipun-barangkali-capeknya bukan main.

Tentu saja, bukan kesibukan beliau yang membuat saya-dalam bahasa anak-anak muda-ngefans. Bukan karena beliau diundang sana-sini yang menjadikan saya kagum. Kesederhanaan, sikap tawadhu, low profile, kealiman, loyalitas, intelektualitas, religiusitas, dan kerendahan hati beliau lah yang menjadi titik perhatian saya.

Jika berpapasan dengan beliau, sudah merupakan hal lumrah jika saya bersalaman, mencium tangan beliau karena mengharapkan barakah. Setidak-tidaknya, saya memperoleh cipratan ilmu. Teman-teman saya juga demikian, mencium tangan kanan beliau bolak balik. Tabarrukan, kata mereka.

Meski saya dengan beliau ibarat jauhnya sumur kering dengan langit ke tujuh, tetapi paling tidak saya telah mencintai seorang ulama. Semoga ini cinta murni karena Allah, bukan cinta demi kepentingan pragmatis layaknya pemilukada, yang mana para politisi mencium tangan ulama demi mendapatkan dukungan. Merupakan lambang kehancuran, jika seorang muslim selain tak memiliki ilmu, juga tak mencintai ulama. Na’udzubil-Lah. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan oleh Allah untuk selalu dapat berjuang menuntut ilmu agama dan berdakwah secara luas menurut segmentasi dakwah kita masing-masing. Amin.
Share: