Thursday 28 February 2019

Ngerasani, Topik Trending sampai Hari Kiamat

Mungkin, sampai kiamat tiba pun, topik tentang keburukan dan aib sesama tetap naik daun sebagai topik paling trending mengalahkan topik-topik yang lain. Orang-orang begitu enteng menggerakkan lidah mereka untuk mengungkap keburukan dan aib sesama. Tidak butuh pemikiran matang dan usaha super untuk meneliti keburukan sesama, kemudian membicarakannya. Menjadi profesional dalam soal ini tidak membutuhkan usaha intelektual, cukup emosi.
Inilah yang menyebabkan orang-orang kita mudah main rasan-rasan. Yaitu ketika rasa benci dan dendam merasuk ke dalam jiwa, maka pemilik jiwa akan terdorong dan terangsang untuk memperburuk citra orang yang ia benci dan ia dendami. Hanya bermodal kemarahan dan kebencian untuk melakukan hal ini.
Kadang-kadang, orang yang menjadi objek penggunjingan adalah orang terdekat, kerabat, sahabat, atau teman. Tidak ada kebencian di sana. Akan tetapi, namanya saja obrolan, ketika lengang tidak ada orang yang membuka dan melanjutkan obrolan, ngerasani orang-orang dekat adalah jalan keluar supaya obrolan kembali hangat. Tanpa terasa dan tanpa rencana, tiba-tiba saja, keburukan dan aib sesama telah menghangatkan suasana kongko itu.
Nah, karena sejak dulu sudah trending dan sampai kiamat tiba tetap akan trending, dosa menggunjing alias ghibah ini seperti tidak ada. Dosa lisan yang rentan merusak kohesi sosial ini seperti bukan lagi dosa, melainkan dianggap kebiasaan sehari-sehari yang lumrah terjadi. Akhirnya, kita pun memakluminya, membiarkan orang-orang berrasan-rasan-ria, bahkan tanpa terasa kita berurun rasan-rasan di tengah rasan-rasan orang-orang
Padahal, tidak butuh dalil apapun untuk mengatakan bahwa ghibah, atau menggunjing, atau ngerasani adalah perbuatan buruk. Namun sekali lagi, perbuatan buruk, seburuk apapun, jika sudah biasa dikerjakan, akan menjadi "perbuatan baik". Seolah sebuah keniscayaan, jika obrolan tidak dibumbui dengan ngerasani, obrolan itu tidak akan hangat.
Adakalanya sebagian kita mengetahui bahwa ngerasani itu kebiasaan yang tidak baik. Tetapi, karena ada unsur keasyikan di sana, kita mau tidak mau, sadar tidak sadar, akan menjadi asyik juga menggunjing sesama.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan perbuatan menggunjing asyik dikerjakan. Salah satu dari faktor-faktor tersebut ialah, karena, dengan menggunjing, penggunjing merasa telah dianggap baik oleh pendengarnya dan objek yang digunjing akan turun reputasinya. Penggunjing merasakan keamanan dari stigma buruk pendengar manakala membicarakan aib dan keburukan sesama. Artinya, penggunjing mendambakan kenaikan reputasi diri melalui cara menurunkan dan merendahkan reputasi orang lain.
Dalil dan argumentasi dipaparkan kepada orang yang terbiasa menggunjing, tetapi ini percuma, karena dia telah menemukan "kamar barunya" yang mengasyikkan dan mendamaikan.
Bagaimana pun, beranikah kita, ketika "seminar kecil" penggunjingan sedang berlangsung, untuk memalingkan wajah, atau menudukkan kepala, atau menegur secara langsung, yang menandakan ketidaksetujuan dan ketidaksukaan kita pada perbuatan bejat menggunjing yang saat itu sedang berlangsung?
Kadang kita berani, kadang tidak. Jika penggunjing adalah orang yang lebih tinggi derajat sosialnya daripada kita, kita bisa jadi tak berani. Takut dijauhi. Takut dibenci.
Alih-alih, ketika "budaya" ngerasani sedang berlangsung kita ikut nimbrung di dalamnya, mengapa kita tidak berani menghadapi "budaya" ngerasani para penggunjing sadar akan perbuatan kelirunya. Jika tidak berani mengungkapkan ketidaksetujuan kita secara verbal pada pekerjaan menggunjing, kita bisa menggunakan bahasa non-verbal atau ekspresi ketidaksukaan kita mana pada pekerjaan ngerasani itu.
Mulailah dari sini, dari langkah kecil mengekspresikan ketidaksetujuan dengan cara, misalnya, berpaling muka. Sebab, ngerasani sudah "membudaya" dan sulit terpisahkan dari obrolan dan jangongan tak resmi. Mengubahnya atau menghapusnya bisa dimulai secara gradual, sedikit demi sedikit, dan persuasif.

Share:

0 comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar! '-'