Thursday 14 April 2016

Deradikalisasi Agama dan Labelisasi Sepihak

PADA MULANYA

Kata ‘Radikal’ dan ‘Radikalisme’
Lembar-lembar sejarah dan hari-hari kita belakangan ini, diramaikan oleh isu tentang radikalisasi agama. Isu ini terus bergulir dan berbagai media mem-blow up-nya. Ide dan sudut pandang yang berwarna-warni bermunculan. Publik pun disuguhi “hidangan” yang berwarna-warni ini. Ada yang tepat sasaran dalam melahapnya, dan ada pula yang keliru dalam mencaploknya.
Agar tidak keliru dalam mencaplok, makalah ini akan mencoba berurunrembuk, yang pada akhirnya, makalah ini akan melakukan “de” terhadap radikalisasi agama yang memang di mata banyak orang tampak begitu seram layaknya monster. Karenanya, dalam memulai, kita bahas lebih dulu kata ‘radikal’ dan ‘radikalisme’ itu sendiri.
Istilah radikal dan radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), berarti akar, sumber, atau asal mula.[1] Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘radikal’ berarti ‘secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip)’, amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), dan maju dalam berpikir atau bertindak. Sedangkan kata ‘radikalisme’ memiliki arti ‘paham atau aliran yang radikal dalam politik’, ‘paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis’, dan ‘sikap ekstrem dalam aliran politik’.[2]
Secara lebih luas, radikal memiliki konotasi yang lebih terbuka dan cenderung pada sesuatu yang dasar, esensial, dan principal. Radikal juga bisa dikaitkan dengan semisal ilmu sosial, ilmu ekonomi, politik, dan sebagainya. Contoh: ekonomi radikal.
Adapun term ‘radikalisme’, dalam Kamus ilmiah popular karya M. Dahlan al-Barry berarti paham politik negara yang menginginkan perubahan besar sebagai jalan untuk menggapai kemajuan.[3]
Adapun Wikipedia menyodorkan definisi secara lebih khusus, yakni radikalisme ialah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.[4]




NETRALITAS RADIKAL

Radikal vis a vis Moderat
Dari kaca mata bahasa, term radikal sebetulnya netral. Seperti Mitsuo Nakamura, menyebut bahwa NU merupakan organisasi yang memiliki karakter tradisionalisme radikal. Term radikal diambil olehnya untuk melukiskan bahwa NU adalah organisasi otonom dan independen, bukan derivasi dari organisasi yang lain. (Asian South Asian Studies: 1981)
Secara politis, NU itu kritis, terbuka, dan mendasar dalam berhadapan dengan status quo penguasa pada orde baru, yakni Soeharto. NU juga menampakkan karakteristik keagamaan yang konsisten. Dengan watak yang begitu mendasar inilah NU disebut organisasi radikal.
‘Radikal’ juga dipakai antonim dari ‘moderat’, yang memvisualisasikan suatu tindakan jalan tengah saat bertemu dengan perselisihan dengan suatu gagasan atau ide: berkompromi atau berkooperasi. Sebagai kebalikan, radikal bermakna secara mempertahankan ide ketika berhadapan dengan percekcokan dengan ide lain: tidak berkooperasi.[5]
Ada juga misal dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia terkait dengan radikal dan moderat ini: dikenal dua strategi politik organisasi kebangsaan berkaitan dengan mewujudkan Indonesia merdeka, yakni strategi non-kooperatif (radikal) dan kooperatif (moderat).
Strategi radikal yaitu sikap menentang secara keras terhadap kebijakan pemerintah kolonial dan tidak adanya kooperasi dengan pemerintah kolonial. Kalangan radikal bersikap, bahwa untuk memperoleh kemerdekaan, mesti dengan jerih lelah bangsa sendiri dan bukan dengan intervensi bangsa asing (Belanda). Sebaliknya, moderat bermakna sebagai satu perbuatan terbuka terhadap kebijakan kolonial.
Kalangan moderat memiliki pendapat bahwasannya untuk memperoleh kemerdekaan, tidak bisa menanggalkan kooperasi dengan pelbagai bangsa atau kalangan lain yang berdiam di Indonesia kala itu, termasuk dengan pemerintah penjajah. Dua strategi ini sama-sama bertujuan akhir tunggal, yakni mewujudkan kemerdekaan. Dalam konteks ini, radikal dan moderat berpengertian yang positif. Misal lain, kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 tidak akan tergapai tanpa ada dorongan kaum para radikalis, yang kala itu ialah para pemuda. [6]
Term radikal juga juga bisa diberika pada gerakan Partai Komunis Indonesia yang pernah memberontak pada 1948 atau 1965: ekspresi radikal. Demikian pula berbagai Serikat Buruh Seluruh Indonesia, Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), yang memelopori berbagai aksi buruh juga termasuk gerakan radikal.[7]

Agama Radikal
Akan tetapi, saat kata ‘radikal’ dikaitkan dengan agama, kata ini belakangan kerap dimaknai amat sempit. Ada istilah misalnya Islam radikal, atau yang agak umum radikalisme agama yang cenderung berasosiasi dan berbau Islam. UIN Syarif Hidayatullah misalnya, membuat buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia” Di dalamnya dijelaskan bahwa terdapat 4 kelompok yang dikategorikan ke dalam salafi radikal: (1) Front Pembela Islam (FPI), (2) Laskar Jihad, (3) Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan (4) Hizbut Tahrir. Ironinya pemakaian salafi radikal di sini amat bias tersebab apa yang dikehendaki dengan salafi dan apa pula yang dikehendaki dengan radikal masih blur alias kabur.
Saat kata radikal atau radikalisme diucapkan, yang terbayang di benak ialah terorisme, jenggot, jubah, bom, garis keras, yang kesemuanya disematkan pada Islam. Sehingga seolah-olah kata radikal itu tidak bisa lepas dari Islam, yang ujung-ujungnya citra Islam tampak begitu buruk di mata public, bahkan di mata para penganutnya sendiri.
Dr. Mahathir Mohammad mengatakan bahwa pihak non-Muslim bertanggung jawab dalam pemberian label negatif terhadap Islam. Jika ada umat Islam melakukan kesalahan yang disalahkan justru agama Islam. Stereotipe umat Islam disamakan dengan orang yang tidak disiplin, orang terbelakang, tidak mengenal perikemanusiaan, fundamentalis yang fanatik, dan teroris, padahal mereka tidak dapat membuktikannya secara hukum. Mereka tidak pernah mengatakan Hitler sebagai teroris, padahal ia telah membantai enam juta orang Yahudi selama perang Dunia II. Ini merupakan kejahatan dunia terbesar abad ke-20, tetapi dunia lupa akan cap teroris kepada Hitler. Sejarah merekam bahwa ada pembantaian massal orang-orang Albania di Kosovo, yang sebelumnya telah dimulai pembantaian terhadap ratusan ribu umat Islam Bosnia-Hergezovina. Hingga kini kita tak pernah menemukan labelisasi atas Israel Radikal yang melakukan pembantaian dan penjajahan terhadap umat Islam di tanah Gaza atau Syiah Radikal di Iran yang membantai Ahlussunah, memperkosa wanitanya, membunuh anak-anaknya, dan membakar masjidnya. Sangat disesalkan mereka yang melakukan pembantaian tidak pernah dijuluki sebagai “teroris Eropa” dan “teroris Kristen”. Bahkan, umat Islam sendiri ikut-ikutan menjuluki Islam sebagai radikal-teroris terhadap Islam.[8]
Bahkan belakangan, pemerintah menutup situs-situs yang dianggap berbau radikal. Dan situs-situs berbau radikal itu tiada lain situs-situs Islami. Juru bicara yang mendatangi Kantor Kominfo menjelaskan definisi radikalisme. Para awak media Islam ini tetap ingin mengklarifikasi soal radikalisme yang dipahami oleh BNPT dan masyarakat umum. Pemimpin Redaksi hidayatullah.com, Mahladi mengatakan bahwa, apabila arti radikal diartikan dengan shalat tahajud, shalat berjamaah tepat waktu di masjid, berjanggut, jidat hitam, atau celana yang menggantung di atas kaki, “berarti kita radikal semua”, katanya. Dia menjelaskan bahwa radikal memiliki arti akar, yang sama dengan arti fundamental. Islam radikal memiliki arti belajar Islam hingga ke akar. Dia mempertanyakan definisi radikal yang dilayangkan oleh BNPT kepada awak media Islami. [9]
Jadi sebenarnya ada apa dengan kata radikal? Ia telah menjadi monster yang menakutkan dan disematkan pada Islam. Istilah radikal diidentikkan dengan faham atau aktivitas fisik yang keras yang dilakukan oleh umat Islam. Tak jauh berbeda dengan istilah teroris yang dinisbatkan kepada umat Islam. Jika pelakunya bukan muslim, maka tidak disebut teroris atau radikalis, tetapi hanya perbuatan kriminal murni.
Pada tataran selanjutnya, dalam upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme muncul wacana strategi deradikalisasi, yaitu upaya untuk memutus rantai radikalisme, yang berangkat dari asumsi pemicu terorisme adalah radikalisme.
Maka ketika isu ISIS mencuat yang disinyalir banyak melakukan tindakan kekerasan yang brutal, wacana deradikalisasi menguat kembali, yang berikutnya muncul isu adanya situs Islam radikal yang berujung pada pembredelan situs-situs yang dikelola oleh beberapa komunitas atau organisasi Islam.
Fenomena terorisme sendiri bagi sebagian besar umat Islam masih menjadi tanda tanya, kendatipun berbagai wacana dan kajian tentang ini sudah banyak dilakukan, namun identifikasi penyebab masih kabur.
Siapakah sebenarnya pelaku terorisme dan apa motif dibalik aksi terorisme. Namun yang jelas, semua ormas Islam yang resmi di nagara ini sama-sama menyatakan bahwa praktik terorisme bukanlah bagian dari Islam dan bahkan antithesis Islam. Tidak terkecuali ormas-ormas yang sering distigma sebagai ormas garis keras seperti Fron Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah mengeluarkan fatwa tentang terorisme. Menurut fatwa MUI, terorisme hukunya haram dilakukan oleh siapapun dengan tujuan apapun. Dalam fatwa MUI juga dijelaskan perbedaan secara nyata antara terorisme dengan jihad. Jihad sifatnya untuk melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan cara peperangan, tujuannya menegakkan agama Allah dan membela hak-hak pihak yang terzalimi, serta dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syari’at dengan sasaran musuh yang sudah jelas. Sementara itu, terorisme sifatnya merusak (ifsad) dan anarkhis atau chaos, tujuannya untuk menciptakan rasa takut dan atau menghancurkan pihak lain, serta dilakukan tanpa aturan yang jelas dan sasaranya tanpa batas.[10]
Dari sini sudah jelas bahwa Islam melarang terorisme yang berupa pengeboman atau pengrusakan. Namun sekali lagi, pikiran kita telah diisi citra-citra buruk Islam, yang seolah teroris itu tiada lain kecuali Islam itu sendiri. Padahal, sejarah merekam bahwa kalangan selain Islam jauh lebih banyak dalam melakukan tindakan terorisme, kekerasan, penjarahan, pembantaian, pengrusakan, penyiksaan, pemerkosaan masal, dan berbagai aksi asusila dan tindak chaos lainnya.




PADA AKHIRNYA …
Deradikalisasi Agama
Dari penjelasan di atas kita mendapatkan kesimpulan bahwa ada labelisasi sepihak. Radikal itu tiada lain adalah Islam dan selain Islam bukan radikal. Bahkan, mereka yang hanya berjenggot, berjubah, dan tidak melakukan pernah melakukan tindak kekerasan sedikitpun dicurigai dan bahkan ada yang sampai melabeli sebagai radikalis.
Maka, dari fenomena ini, sebetulnya, label radikal (jika dianggap sebagai monster yang mengerikan), tidak pas dilabelkan pada Islam. Jika pun mau dilabelkan pada Islam maka sebetulnya mereka yang banyak mengkritik agama, al-Quran, dan hadis, yang mengatasnamakan humanisme dan kontekstualisasi sebetulnya cocok untuk dilabeli radikal. Mereka tiada lain adalah kalangan sekuler-liberal, yang melabel-labelkan radikal kepada kalangan yang tidak sependapat dengan mereka, padahal mereka sendiri radikal.
Bahwa pemahaman Islam yang al-ma’lum minad-din bidh-dharurah (diketahui dalam agama secara pasti), seperti Islam sebagai satu-satunya agama yang benar, mereka kritik habis-habisan dan disebut sebagai pemahaman yang intoleran terhadap penganut agama lain. Justru para penggiat kebenaran semua agama inilah yang patut untuk disebut radikal. Sebagaimana definisi disebutkan di depan, bahwa radikal ialah kalangan yang menuntut perubahan besar-besaran terhadap suatu “tiang dan pondasi” yang telah mapan.
Akhirnya, upaya deradikalisasi agama dapat kita maknai sebagai, suatu tindakan untuk mensterilkan agama dari paham-paham yang ekstrem, baik itu ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.[]




Bacaan Lebih Lanjut
The Concise Oxford Dictionary. cetakan tahun 1987
Software KBBI Offline
M. Dahlan al-Barry dan Pius A. Partanto. Kamus Ilmiah Populer. Arkola Surabaya
https://id.wikipedia.org/wiki/Radikalisme
Dr. AM. Saefuddin. Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim. Gema Insani Press. Cet I 1996
Mahathir Mohamad. Terrorism and the Real Issues. Subang Jaya: Selangor Malaysia. Pelanduk Publications Cet. I 2003. hal. 9
Republika edisi 31 Maret 2015
Hasil Ijtima Ulama MUI tahun 2015



[1] The Concise Oxford Dictionary, cetakan tahun 1987, hal. 122
[2] Software KBBI Offline
[3] M. Dahlan al-Barry dan Pius A. Partanto, Kamus Ilmiah Populer, Arkola Surabaya, hal.98
[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Radikalisme
[5] Dr. AM. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, Gema Insani Press, Cet I 1996, hal. 43
[6] Ibid, hal. 51
[7] Ibid, hal. 54
[8] Mahathir Mohamad, Terrorism and the Real Issues, Subang Jaya: Selangor Malaysia, Pelanduk Publications, Cet. I 2003, hal. 9
[9] Republika edisi 31 Maret 2015
[10] Hasil Ijtima Ulama MUI tahun 2015
Share:

Urusan Jokowi, Refleksi atas 'Kabinet Gaduh untuk Siapa?'

Dr. Gun Gun Heryanto, seorang Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, menanggapi kegaduhan kabinat Jokowi-JK melalui artikelnya di media massa, Koran Sindo (10/03/2016). Ia meningalkan sebuah pertanyaan sederhana, tetapi tidak mudah menjawabnya. Pertanyaan ‘kabinet gaduh untuk siapa?’ yang dijadikan judul ini, layak untuk diperhatikan dan direnungkan oleh para kabinet yang gaduh itu. Pertanyaan ini sekaligus mendorong Jokowi untuk menjadi “penjinak”.

Sebagaimana dijelaskan penulisnya, kegaduhan mereka ialah hanya di media sosial, tetapi komunikasi medsos ini tidak bisa hanya menjadi “hanya”. Sebagai kabinet negara, followers mereka tentu saja amat banyak, dan jika Jokowi tidak sesegera mungkin menengah-nengahi dan menyelesaikan berbagai silang pendapat ini, dikhawatirkan kinerja negara semakin menurun, karena disibukkan oleh “debat” yang tak kunjung usai.

Pertanyaan ‘kabinet gaduh untuk siapa?’ bisa jadi mewakili kegelisahan kita dengan keberadaan mereka yang–menurut bahasa Soekarno–“merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi”. Setidak-tidaknya semenjak vis a vis Capres Cawapres Jokowi-Jk dan Prabowo-Hatta dan kemudian peresmian Ir. H. Joko Widodo sebagai presiden dan wakil presiden, lalu kontroversi pelantikan kabinet antara yang dianggap professional da nasal-asalan, rakyat telah digaduhkan dan digelisahkan oleh dagelan politik para elit. Kegaduhan kabinet yang terjadi di medsos belakangan ini, hanya menambah kegaduhan itu.

Sebagaimana disebutkan di muka, Jokowi-Jk sebagai “penjinak” dituntut segera mengambil langkah yang tanggap dan sikap yang tegas. Hal ini agar anak buahnya segera bungkam. Satu kata yang “disabdakan” oleh seorang kepala negara berotoritas kuat. Pemimpin memiliki tugas mengubah bangsa menjadi lebih baik, dan menjadi “penjinak” dalam konteks ini ialah bagian dari itu. Frasa ‘bukan urusan saya’ perlu direvolusi menjadi ‘urusan saya’.[]
Share: