Sunday 20 March 2016

(Hanya) Meminjam Istilah Mithos dan Logos

Ada dua istilah menarik dalam peradaban Yunani kuno, yaitu mythos dan logos. Mythos berarti mitos, identik dengan hal-hal mistik yang tidak terjangkau oleh akal manusia biasa. Sedangkan logos berarti nalar; logis; jangkauan pikir yang hubungannya dengan materi dan fisik dalam kultur ilmiah. Pada tulisan sederhana ini, saya meminjam istilah mythos dan logos untuk membahas tentang urgensitas mengamalkan ilmu.

Sebagaimana kita ketahui, pada jaman sekarang semuanya harus serba ilmiah. Saking ilmiahnya, tidak mempercayai hal-hal yang gaib, tidak kelihatan, unreal (tidak nyata) kecuali setelah dibuktikan dengan semangat sains-katanya. Pembahasan mengenai barakah, karamah wali, dan mukjizat, misalnya, bagi "mereka" merupakan tema kolot dan konservatif yang tidak dibahas kecuali oleh orang kampung, karena semua itu dianggap mythos.

Harus diakui bahwa, kultur kita saat ini telah mendidik kita untuk melihat segala hal secara material dan fisik. Yang transenden sedikit-sedikit tergeser, bahkan tergeser sama sekali: pandangan hidup Barat, yaitu pandangan hidup materialisme, dikotomisme, sekularisme, empirisisme, dan isme-isme lainnya, yang berkembang dan mengakar di sana. Sebenarnya, ini merupakan kekhawatiran. Takut-takut memperngaruhi pandangan hidup umat Islam.

Adapun penjelasan saya tentang "mereka" yang sulit mempercayai hal-hal berbau mistik (dalam tanda kutip) seperti di atas, tiada lain hanya sekadar menggambarkan bahwa dunia realita yang melingkupi kita saat ini adalah empirisisme yang mengesampingkan yang tidak bisa diindra. Ini hanya sekadar contoh, dan bukan ini yang saya tekankan dalam tulisan saya ini. Saya hanya meminjam kedua istilah itu (mythos dan logos) untuk menjelaskan urgensitas mengamalkan ilmu. Bukan menekankan pada 'mythos dan logos'-nya, tetapi tentang 'mengamalkan ilmu'-nya.

Dalam kajian filsafat ilmu, ada penjelasan terkait konsep kebenaran yang sering diperdebatkan. Di sana dijelaskan bahwa kebenaran itu bermacam-macam. Kebenaran itu ada yang rasional atau logis, falsafi, absolut, dan lain-lain. Perbedaan penilaian terhadap sebuah problema atau kasus misalnya itu lumrah disebabkan sisi pandang yang berbeda. Satu contoh tentang wali, barakah misalnya: bisa jadi salah menurut filosof, tapi tidak menurut yang lain. Surga dan neraka juga, ini mythos menurut ahli filsafat apalagi filosof Yunani kuno, tapi benar menurut kita muslim, karena tidak semua kebenaran harus bisa dicerna akal, atau dibuktikan terlebih dahulu. Dan kenyataannya memang begitu (kebenaran tidak harus bisa dibuktikan dengan panca indra. Contoh: gagasan itu ada, tetapi gagasan itu sendiri tidak bisa diseperti-apakan dan bagaimanakan, tidak bisa diindra).

Nah, kembali ke masalah mythos dan logos. Teori-teori, informasi-informasi, dan petuah-petuah dalam tulisan di majalah-majalah, buku-buku, dan kitab-kitab akan tetap menjadi mythos jika tidak diijewantahkan dengan amal perbuatan. Di dalam kitab misalnya, kita mendapati pembahasan tentang sabar yang diuraikan dengan rinci dan baik. Namun, selamanya, tulisan tentang sabar itu akan tetap menjadi mythos yang tidak bisa dijamah. Agar bisa dijamah, kita membutuhkan logos, yang berarti menindaklanjuti, mengimplementasikan, membuktikan, dan mengamalkan ilmu tentang sabar sebagaimana dijelaskan dalam kitab tersebut. Dengan demikian, sabar itu ilmu/mythos yang harus dibuktikan dengan perbuatan/logos.

Banyak sekali ilmu yang kita peroleh. Namun, kita jangan merasa cukup hanya memperolehnya. Sebab semua yang kita peroleh itu sekadar mythos. Yang harus kita lakukan adalah mengamalkannya. Jika kita mengamalkan, berarti ilmu yang kita peroleh itu adalah logos, bukan lagi mythos. Sebab, ilmu manfaat adalah ilmu yang diamalkan, mythos yang terbukti adalah mythos yang di-logos-kan.[]
Share:

Nikah-Kuliah yang Simpel Itu

Mahasiswa yang menikah sebelum lulus kuliah (S1) dianggap tabu dan tidak lumrah. Sedangkan pacaran, yang jelas mengindahkan norma agama, melampuai batas, dan menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf memprihatinkan, dinilai biasa.
Mahasiswa adalah seorang thalibul-‘ilmi (penuntut ilmu), di mana Imam al-Ghazali dalam Bidayatul-Hidayah-nya, dan Imam az-Zarnuji dalam Ta’limul-Muta’allim-nya, telah mengemukakan adab, tatakrama, anjuran, kewajiban, dan larangan bagi seorang thalibul-‘ilmi? Pacaran jelas suatu keniscayaan yang mesti dijauhi. Bagaimana ilmu akan berkah dan bermanfaat, jika selama menuntut ilmu dibersamai dengan pacaran? Dilema memang. Di satu sisi, pacaran itu larangan agama, di sisi lain, menikah itu butuh persiapan.

Akan tetapi, marilah kita tilik hadis riwayat al-Bukhari yang populer. Syabab (pemuda) yang diseru oleh Nabi dalam hadis itu ialah mereka yang berusia 16-32 tahun menurut Imam al-Qurthubi, 16-30 tahun menurut Imam an-Nawawi dan az-Zamakhsari, yang berarti mahasiswa tercakupkan. Syabab yang ba’ah (mampu) dianjurkan atau diwajibkan menikah, dan yang tidak ba’ah, hendaknya berpuasa, untuk mengekang syahwat.

Jika dengan berpuasa syahwat masih belum juga terkendali, daripada berpacaran, tidak perlu ragu untuk menikah. Persoalan materi jangan sampai menghambat azam dan keinginan kuat seseorang untuk melangsungkan pernikahan. Fauzil Adzim menyampaikan, meski belum mempunyai kemampuan ekonomi yang memadai, orang-orang yang telah berbekal kesiapan ruhiyah lebih siap bertanggung jawab atas keluarganya. Allah menjamin rizki bagi mereka yang mau menikah (QS. An-Nur: 32).

Selain itu, Diana E Papalia dan Sally Wendkos Olds mengemukakan, usia terbaik untuk menikah bagi perempuan ialah 19-25 tahun, sedangkan bagi laki-laki ialah 20-25 tahun. Suryadi Az, dalam Sukses Menikah Sukses Kuliah (2005) juga menyatakan bahwa, umur kuliah adalah masa produktif dan subur.

Pada tataran selanjutnya, bagaimana jika sudah menikah tetapi belum memungkinkan untuk berumah tangga, sedangkan menunda pernikahan membuat hati tersiksa? Dengan konsep yang diangkat Fauzil Azhim, kita bisa menikah semasa kuliah, kemudian berumah tangganya setelah lulus. Simpel, bukan?
Share:

Bisnis Start Up di Tengah "Kehausan"

Lelah mengguyur tubuh malam itu. Bagaimana tidak? Pada pagi hari, saya berangkat ke kampus untuk kuliah hingga sore, dan setelah itu, saya mesti berangkat kerja di salah satu perusahaan yang berfokus pada penjualan fashion wanita, sebagai Customer Service Online (CSO). Kerja yang dimulai pada pukul 16.00 ini, rampung pada tengah malam pukul 24.00 (8 jam). Setelah satu bulan bekerja di perusahaan itu dan saya memperoleh gaji, saya langsung resign.
Setidak-tidaknya ada beberapa alasan mengapa saya berhenti menjadi karyawan di perusahan itu. Pertama, karena job yang dibebankan pada saya di tempat kerja, monoton atau tidak ada ragamnya. Saya pun bosan dan jemu. Kedua, karena waktu saya semakin padat: pada pagi dan siang hari, saya bersekolah (baca: berkuliah), dan pada sore dan malam hari saya mesti “bersekolah” lagi.
Ketiga, ruh saya sulit untuk menyatu dengan ruh-ruh para kolega saya. Saya melihat bahwa mereka akan “galau” jika tidak memperoleh penghasilan. Sedangkan saya “galau” jika saya tidak memperoleh perkembangan intelektual; mereka pekerja, sedangkan saya pelajar. Keempat, saya mengorbankan delapan jam, yang merupakan tempo yang relatif lama dan amat berharga dalam sehari (24 jam), dengan sesuatu yang tidak sebanding dengan apa yang saya peroleh, dalam hal ini ialah gaji, bahkan kendatipun seandainya gaji yang saya terima lima kali lipat. Kelima, aktivitas akademik saya tidak jarang terganggu dan terbengkalai gara-gara profesi karyawan ini. Akibatnya, nilai dan IPK yang saya peroleh pada akhir semester tidak sesuai harapan.
Oleh karena itu, urgen untuk menemukan jalan keluar di tengah “kehausan” akan perolehan pendapatan dan perkembangan intelektual. Jalan keluar tersebut ialah bisnis start up. Bisnis berbau teknologi yang baru di bangun. Hal ini setidaknya karena beberapa hal berikut.
Pertama, mahasiswa dan teknologi tidak dapat dipisahkan. Semua mahasiswa pasti mengoperasikan gadget dan komputer untuk memenuhi segala kebutuhan mereka, baik kebutuhan akademik, kebutuhan finansial, kebutuhan sosial, dan sebagainya. Kedua, bisnis start up bisa dibangun dengan modal kecil, bahkan, menjadi dropshipper misalnya, justru bisa tanpa modal. Dengan gadget, ia dapat memasarkan dan mempromosikan produknya.
Ketiga, segmentasi pasar yang dekat dan mudah: di sela-sela ia berinteraksi dengan teman-teman sejawat di kampus, ia bisa mencatut mereka sebagai konsumen utama. Syukur jika ternyata ekspansi pasarnya meluas di luar kampus. Keempat, kemungkinan untuk mengganggu waktu belajar dan waktu-waktu berharga lainnya, relatif kecil–untuk tidak mengatakan tidak sama sekali. Kelima, siapa nyana, dengan bisnis kecil yang ditekuni, suatu saat bisa berkembang dan maju. Bukankah, kata Syafii Antonio melalui akun Twitternya, “Pencapaian besar dimulai dari langkah yang kecil”?
Berdasarkan ihwal di atas, bisnis start up semakin menemukan space untuk mahasiswa–sebagai penuntut ilmu–lakoni. Dia bisa meringankan beban orang tua. Dia juga bisa memperoleh pengalaman bagaimana mengelola bisnis yang baik. Maka, daripada berpendapatan tetapi mengganggu kuliah kita, mengapa tidak mencoba melakoni bisnis start up saja?
Share:

Serangan Umum dan RUU KPK

Kalau kita pergi ke sekitar kawasan Titik Nol Kilometer, kita lihat sebuah monumen yang berdiri gagah: mengingatkan kita pada peristiwa sejarah yang berdarah-darah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dipimpin oleh Jendral Besar Soedirman kala itu merebut kembali Yogyakarta yang sebelumnya telah dicaplok dan dikuasai oleh Belanda. Hari ini, pada tanggal 1 Maret ini, kita mencoba untuk melakukan hal yang mulia: memetik ibrah dari peristiwa bersejarah yang diistilahkan dengan Serangan Umum 1 Maret 1949 ini.
Sebelum memulai mengambil pelajaran, mari kita memperhatikan dan membahas salah satu fenomena yang sedang terjadi, yang mengguncang dan mewarnai negeri ini. Salah satu fenomena itu ialah pro-kontra rencana Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK), bersamaan dengan munculnya RUU Tax Amnesty (Pengampunan Pajak).
Syahdan, fraksi-fraksi sejumlah partai (PDI-P, Partai Nasdem, Partai Golkar, PPP, Partai Nasdem, dan PKB) memasukkan RUU KPK ini ke dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional), melalui draft yang mereka ajukan. Hal ini mendapat protes keras dari banyak pihak, karena dianggap upaya untuk melemahkan KPK, yang berimbas pada lemahnya pemberantasan korupsi.
Di tengah pro kontra ini, DPR dan Pemerintah pun sepakat untuk menunda pembahasan RUU KPK. Setelah kesepakatan penundaan ini, fraksi DPR, fraksi PKS, dan fraksi Gerindra, tidak saja mendesak agar DPR sebaiknya membahas RUU Tax Amnesty, tetapi juga mendorong agar RUU KPK dicabut dari Prolegnas. Bahkan, kumpulan cendikiawan yang menyebut diri sebagai alumni Sekolah Antikorupsi (SAKTI) Indonesia Corruption Watch membuat petisi di website www.change.com yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, agar tidak membunuh atau melemahkan KPK dengan dalih merevisi undang-undang.
***
Kembali ke perihal Serangan Umum di muka. Indonesia pada 17 Agustus 1945 ternyata belum sepenuhnya merdeka. Saat keamanan para pemimpin nasional dan Dwi Tunggal di Jakarta masih dalam belenggu ancaman penjajahan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengirim telegram kepada Presiden Bung Karno dan Wakilnya Bung Hatta untuk mengungsi sementara ke Yogyakarta.
Pada 19 Desember 1948, Belanda melakukan agresi militer yang menyebabkan Yogyakarta jatuh ke dalam kekuasaan Belanda. TNI dengan komando Jendral Soedirman kala itu menyerang pihak Belanda secara protektif sebanyak empat kali, yaitu pada 29 Desember 1948, 9 Januari 1949, 16 Januari 1949, dan 4 Februari 1949. Namun, sayang, perjuangan TNI belum kunjung berhasil dalam menghengkang pihak musuh. Kegagalan ini memperkuat propaganda Belanda di mata internasional bahwa TNI sudah mati.
Maka, dihelatlah pertemuan rahasia pada 14 Februari 1949. Ditemukan kata mufakat untuk melakukan serangan besar-besaran pada pagi hari tertanggal 1 Maret 1949, yang antara lain bertujuan untuk membuktikan pada dunia internasional bahwa TNI dan Republik Indonesia masih kuat. Yogyakarta pun berhasil direbut lagi hanya dalam tempo beberapa jam di siang hari. Kandaslah propaganda Kolonial Belanda.
***
Monumen Serangan Umum 1 Maret 1945 yang berdiri gagah di sekitar wilayah Titik Nol Kilometer itu, menjadi bukti bahwa TNI pantang menyerah meskipun dalam posisi sedang tersudut.
Ketika gerakan masif belanda tidak bisa dihalau dengan serangan gerilya, digagaslah serangan besar-besaran yang mampu membungkam mulut senapan mereka.
Ketika korupsi telah membudaya dan menjadi warisan sejarah, dan hari-hari ini KPK sebagai pengawal pemberantasan korupsi sedang dalam keadaan getir, Presiden Jokowi mestinya segera mengambil langkah yang tanggap dan sikap yang jelas, bukan?
Share:

Absurditas dan Paradoks Relativisme

Indonesia yang hingga saat ini diguncang oleh kemelut hukum, dagelan politik para elit yang–meminjam bahasa Soekarno–“merasa dipangku oleh ibu pertiwi”, pencitraan-pencitraan, dan beragam ketidakadilan dan penyelewengan lainnya, tidak lepas dari kiprah manhaj relativisme yang meniscayakan yang positif dan yang negatif, yang baik dan buruk, menjadi blur dan kabur, karena “segala hal dipandang sebagai kebenaran yang belum tentu benar, dan kesalahan yang belum tentu salah”.
Ironinya, shopping menu relativisme banyak diminati oleh para insan akademisi di sejumlah perguruan tinggi. Sehingga, seolah-olah tidak boleh tidak: siapa saja yang memasuki dunia perkuliahan, wajib hukumnya melahap doktrin relativisme.
Padahal, mahasiswa nantinya diharapkan menempati pos-pos kepemimpinan di Indonesia. Sungguh sesuatu yang tidak kita inginkan jika nahkoda yang mengomandoi dan mengawal sebuah kapal yang bernama Bangsa Indonesia ini, adalah mereka yang memandang korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai kelumrahan.
Oleh karena itu, saya tergugah secara moral dan intelektual untuk “menjinakkan” doktrin yang sudah kadung mengakar di lingkungan perguruan tinggi ini, dengan cara mencatut gagasan relatifistik Hanputro Widyono (selanjutnya disebut Hanputro) dalam Mimbar Mahasiswa tentang keberagama(a)n Tafsir (Solopos, 23/6/15), sebagai objek analisis saya. Diharapkan nantinya kita mendapatkan percik pemikiran, bahwa relativisme tiada lain, kecuali sebuah doktrin yang sebetulnya absurd dan kerap memunculkan sikap-sikap paradoksial.
Hanputro membahas tentang tafsir yang relatif-tentatif (Bahasan yang sebetulnya lumrah didapati dalam lembaran-lembaran mahasiswa: tidak out of the box). Melalui ungkapannya, “ketika tafsir telah menjadi sebuah kemutlakan”, dia sedang berupaya membungkam pendapat orang lain yang ia nilai relatif, dan melalui “Disfungsi agama juga akan hadir ketika keyakinan kemutlakan terhadap agama telah mengharuskan untuk menafikan kebenaran agama lain”, dia sedang berupaya memutlakkan pendapatnya: bahwa gagasan prinsipal yang mutlak benar menurutnya ialah: ‘agama yang kita anut belum tentu benar’. Pendeknya, dia sebagai relativis, rupanya memutlakkan pendapatnya sendiri, dan merelatifkan pendapat liyan yang berseberangan dengan pendapatnya.
Entah, apakah Hanputro menyadari sikap paradoksialnya ini atau tidak. Yang dapat kita ketahui kemudian ialah, dia menutupi ketidaknetralannya dengan pernyataan yang (seolah) netral: “Ada Allah bagi umat Islam, ada Yesus bagi umat kristiani, ada Dewa bagi umat Hindu dan Buddha”.
Selain itu, dia mengemukakan bahwa penafsiran manusia atas bahasa yang terwujud dalam kata-kata, itu beragam. Karenanya, “Perbedaan pendapat antarmanusia tidak dapat dinafikan”. Ya, saya setuju. Hanputro benar sekali, tersebab perbedaan adalah fitrah.
Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa jika terdapat kekeliruan tafsir atas suatu kata, kita lantas diam alias sukut dan menganggapnya tidak keluar dari kode etik penafsiran. Kata merupakan kulit yang mengarah ke luar, sedangkan isinya adalah kulit yang mengarah ke dalam, yang dalam hal ini adalah makna atau gagasannya. Kulit yang mengarah ke luar ini berfungsi sebagai jembatan bagi penafsir untuk menggapai makna atau gagasan terdalam dari kata tersebut. Kendatipun ada kata-kata yang memungkinkan (bahkan mengharuskan) untuk dimaknai dengan makna metaforisnya, bukan makna hakikinya, tidak berarti kita membiarkan kata-kata bebas sama sekali untuk diinterpretasikan sekehendak subjektivitas penafsir.
Meng-gebyah-uyah bahwa interpretasi atas semua kata itu bersifat nisbi merupakan sikap kurang perhitungan. Kenyataannya, ada penafsiran terhadap kata yang memunculkan makna yang absolutely benar, dan ada penafsiran terhadap kata yang menelurkan makna yang relatively benar atau salah. Yang pertama mengingatkan saya pada ungkapan Dr. Badawi Tabanah, “Anna ikhtilafa mukhtalifina fil-haqqi la yujibu ikhtilafal-haqqi fi nafsihi”, bahwa beragam pendapat antar kalangan terhadap sesuatu yang hakiki, tidak meniscayakan esensi dari yang hakiki ini menjadi beragam pula. Sedangkan yang kedua mengingatkan saya pada sebuah buku berjudul Rahmatul-Ummah fi Ikhtilafil-A’immah, dikarang oleh Abu Abdillah Muhammad bin Abdurrahman ad-Damasyqi, yang secara spesifik menjabarkan pendapat-pendapat antar para yuris Islam yang berbeda-beda dalam berbagai persoalan keagamaan.
Barangkali pembaca menebak-nebak, bahwa saya adalah orang yang acapkali main mutlak-mutlakan, tidak menerima pendapat orang lain, dan memiliki pandangan yang eksklusif. Sebetulnya, saya tidak demikian. Saya tetap berprinsip bahwa, secara intelektual, kita boleh bertentangan, namun secara sosial, kita mesti bergandeng tangan. Selain itu, setiap manusia selagi masih hidup di dunia ini, tidak akan mungkin absen dari suatu ideologi yang diyakini kebenarannya secara mutlak; setiap manusia memiliki standar masing-masing dalam–meminjam istilah yang diungkapkan oleh Dr. Syamsuddin Arif–memilah (tafriq), memilih (ikhtiyar), dan membedakan (tamyiz) yang baik dan buruk, termasuk saya dan Hanputro, dengan catatan tidak sampai tercerabut dari akar idealitas moral, budaya, norma yang mengakar di masyarakat selama ini.
Gagasan relativistik Hanputro di atas, yang kemudian saya analisis, adalah satu di antara banyak bukti bahwa relativisme bukanlah suatu paradigma netralistik sebagaimana yang kita kira sebelumnya, melainkan paradigma yang ternyata menyisakan unsur absolutisme yang subjektif, dan unsur relativistik yang tanggung alias setengah-setengah. Karenanya, untuk menerima pendapat orang, menoleransi penganut agama lain secara sosial, hidup rukun, damai, dan tentram dalam berbangsa, beragama, dan bernegara, tidak harus menjadi seorang relativis, tetapi bukan berarti tidak ada pilihan lain kecuali menjadi absolutis yang kerap main mutlak-mutlakan. Bersikap moderat merupakan pilihan yang bijak, dalam rangka menengah-nengahi dua kutub yang ekstrem. Bersikap moderat membuat kita sadar bahwa, seisi dunia ini ada yang kebenarannya bersifat relatif dan ada pula yang kebenarannya bersifat absolut, bahkan yang berasal dari pemikiran manusia fana sekalipun.
Share: