Thursday 28 February 2019

Bahagia dan Susah

Kalau dipikir-pikir, bahagia dan susah itu mirip, beda tipis dikit. Bahagia dan susah mirip dalam hal silih berganti atau ketidakkekalannya. Bedanya, bahagia merupakan keadaan yang menyenangkan kita, sedangkan susah merupakan keadaan yang tidak menyenangkan kita.
Bahagia atau susah pada dasarnya kerap subjektif, kadang tidak berkaitan dengan objek tertentu. Maksudnya, bahagia atau susah tergantung orangnya, bukan disebabkan sesuatu di luar dia.
Ada dua orang yang sama memakan hidangan yang sama. Yang satu merasa nikmat dan yang satunya lagi kecewa. Apa sebab? Hal ini terjadi karena faktor orangnya yang subjektif tadi.
Yang merasa nikmat adalah orang yang memiliki sikap mental yang bahagia, dan yang merasa kecewa adalah orang yang punya sikap mental yang tidak bahagia. Yang satu punya mental bahagia di dalam dirinya, dan yang satu tidak punya.
Benar jika dikatakan al-Maghfur lah Kiai:
السعادة الحفيقية خارجة عن نفس الناسوت اهتداها اللاهوت، وليست السعادة من له مال كثير ولا هدي وفير، ولكنها من سعد لما هداه الله الغافر
"Kebahagiaan sejati hanya dimiliki oleh jiwa-jiwa yang mendapatkan petunjuk Ilahi, bukan orang yang mendapatkan kekayaan atau penghargaan melimpah. Kebahagiaan sejati adalah milik mereka yang beruntung karena mengikuti dari Sang Maha Pengampun."
Orang boleh punya uang banyak, segala kebutuhannya terpenuhi dengan mudah. Tentu dia bahagia. Tapi belum tentu juga sih. Sebab saat itu juga, saat segala kebutuhan primer, sekunder, dan tersiernya terpenuhi, dia masih membutuhkan sikap mental yang merupakan alat penting meraih kebahagiaan. Ini pun tidak menjamin, karena terkait dengan ketidakkekalan itu tadi.
Mustahil seseorang bahagia terus menerus. Juga mustahil susah terus menerus. Orang yang bahagia terus menerus, lama kelamaan datang juga kesusahan. Orang yang susah terus menerus, lama kelamaan datang juga kebahagiaan.
Karenanya, manakala Sayyidina Uqail bin Abi Thalib menikah, orang-orang mendoakannya demikian: bir-rafa' wal-banin. Artinya: semoga bahagia dan banyak anak.
Sayyidina Uqail menegur orang-orang itu, "Jangan ucapkan doa semacam itu! Akan tetapi, ucapkanlah doa yang diajarkan oleh Rasulullah:
بارك الله لك وبارك عليك وجمع بينكما في خير
Semoga Allah memberkahimu saat engkau bahagia, semoga Allah memberkahimu saat engkau susah, dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.
Sayyidina Uqail melarang orang-orang untuk mendoakannya bahagia, sebab tidak ada perjalanan hidup pasca menikah yang hanya dipenuhi dengan kebahagiaan tanpa kesusahan. Sebagaimana disebutkan tadi, bahwa mustahil manusia bahagia terus tanpa susah sama sekali, sebagaimana mustahil manusia susah terus tanpa bahagia sama sekali. Karena bahagia dan susah itu tidak kekal dan silih berganti, maka yang dibutuhkan seseorang adalah berkah: bahagia yang berkah, sebagaimana susah tapi berkah.
Lantas, bagaimana supaya mendapatkan kebahagiaan dan kesusahan yang dipenuhi berkah?
Menumbuhkan mental bahagia. Yaitu dengan cara melafalkan syukur secara lisan, memupuk syukur di dalam jiwa, dan mengekspresikan syukur melalui perbuatan.
Orang yang mampu mempertahankan syukur, akan datang keridhaan atau kerelaan. Orang yang ridha atau rela, dia akan bahagia. Bahkan, manakala dia tertimpa kesusahan, dia menganggap kesusahan itu sebagai kenikmatan. Karenanya dia bersyukur. Ini sebagaimana dituturkan oleh Imam al-Ghazali ketika ia menjelaskan tentang orang yang bermental ridha. Kenikmatan dan cobaan nyaris tidak ada bedanya. Kenikmatan yang melahirkan kebahagiaan dan cobaan yang melahirkan kesusahan, adalah kenikmatan itu sendiri. Sikap "tidak ada bedanya" inilah yang terpatri dalam jiwa Sayyidina Umar bin al-Khattab, manakala beliau mengatakan, "Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah antara keduanya yang baik menurut Allah bagiku."

Share:

0 comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar! '-'