Friday 22 March 2019

Posisi Fanatisme bagi Pendakwah

Dalam interaksi sosial sehari-hari, nalar-logis kerap marginal. Hubungan antar satu manusia dengan manusia yang lain diikat oleh cinta dan benci. Tolok ukur kebenaran dalam interaksi sosial sehari-hari tidak lagi soal mana yang benar dan mana yang salah, melainkan mana yang disukai dan mana yang dibenci.
Sebagai contoh, manakala kita mencintai Pak Tejo, tak jarang kita menilai kebanyakan tindak langkah dan ucapannya benar. Alasan penilaian benar kita terhadap tindak langkah Pak Tejo dan ucapannya, bukan kaca mata objektif melainkan kaca mata subjektif, yang dalam konteks ini adalah cinta.
Hal berlaku sebaliknya, manakala kita membenci Pak Budi, kita akan menilai kebanyakan tindak langkah dan ucapannya keliru. Tolok ukur penilaian kita adalah emosi, bukan nalar yang logis.
Dituturkan Imam asy-Syafii, "Pandangan simpati menutup segala cela, dan pandangan benci membuka segala cacat."
Dalam dunia sufistis, fanatik termasuk penyakit yang mengotori hati, karena dapat membutakan seseorang dari kebenaran sejati dan hakiki. Tetapi, bukan berarti tasawuf tidak menoleransi sikap fanatik. Pada dakwah dalam konteks interaksi sosial sehari-hari, kita dianjurkan untuk mengedepankan akhlak tinimbang kebenaran. Akhlak yang baik dapat meluluhkan hati manusia tinimbang argumen yang membungkam. Akhlak dapat merasuk ke dalam sosio-kultural masyarakat dan mempunyai pengaruh besar dalam mengubah kecenderungan hati masyarakat.
Di sini, anjuran atau perintah untuk membuang jauh-jauh sifat fanatik ditujukan kepada subjek dakwah alias pelaku dakwah.
Manusia akan mudah melakukan sesuatu dengan sepenuh hati manakala hatinya tidak merasa terbebani dan tidak terpaksa. Jika dipaksa, manusia bisa jadi tetap melakukan kebaikan sebagaimana diserukan oleh pelaku dakwah, namun kebaikan yang ia lakukan tidak timbul dari dorongan hati, melainkan dari ketakutan karena faktor dipaksa itu tadi.
Subjek dakwah atau pelaku dakwah dituntut untuk selalu mengalah, mengesampingkan nalar-logis, kendati ia berada di pihak yang benar dan mempunyai amunisi argumen yang membungkam.
Kebanyakan manusia menyimpan fanatisme yang bercokol di hati mereka, sedikit atau banyak. Meluluhkan hati manusia yang menyimpan fanatisme tidak dianjurkan dengan hujjah atau argumentasi, melainkan dengan tatakrama dan tutur halus-lembut. Menghadapi manusia yang menyimpan sikap fanatik dengan argumen justru tidak akan membuatnya menuju apa yang kita serukan, melainkan malah berbalik arah pada apa yang tidak kita inginkan.
Manakala pelaku dakwah sudah dibenci, ia hanya punya pintu amat kecil agar seruan atau ajakannya dapat diterima. Berbeda dengan pelaku dakwah yang mengedepankan akhlak, ia akan mudah diterima oleh masyarakatnya. Ucapannya menjadi sabda, tindak lakunya kerap dibenarkan.
Anggap saja, orang-orang fanatik itu orang bodoh. Dan mereka yang membuang jauh-jauh sifat fanatisme, adalah orang pintar. Dalam konteks ini, ada sebuah kalimat bijak: berinteraksi dengan orang-orang pintar, nalar-logis didahulukan daripada adab. Sedangkan berinterkasi dengan orang-orang bodoh, adab didahulukan daripada nalar-logis.
Oleh karena itu, orang berilmu diajurkan sebisa mungkin untuk membuang jauh-jauh fanatisme, sebab keharusan orang berilmu adalah nalar-logis ketika menjadi objek dakwah, dan adab ketika menjadi subjek dakwah. Ingat, kita berbicara dakwah dalam konteksi interaksi-sosial masyarakat sehari-hari.
Orang yang berilmu boleh saja tidak menyetujui pandangan seseorang, sebab, sebagaimana maklum, isi kepala setiap manusia berbeda-beda, dan selagi perbedaan itu masuk dalam ranah furuiyah atau asumtif dalam agama, sikap toleransi mesti dikedepankan. Dengan ungkapan lain, secara pemikiran, kita boleh berbeda, namun secara sosial, kita harus membina hubungan yang baik dengan orang lain.
Implikasi dari semua penjelasan di ata, orang berilmu kerap mendapatkan "diskriminasi", ketidakadilan dalam keharusab bersikap. Ketika menjadi objek dakwah, ia harus mengedepankan nalar-logis, kendati subjek dakwahnya adalah orang yang ia benci, dan ketika ia berkapasitas sebagai subjek dakwah, ia mesti mengedankan adab dan akhlak.
Oleh karena itu, orang berilmu tidak saja dituntut untuk pandai berargumen dan berbicara, melainkan dituntut untuk menerima argumen dan banyak mendengar. Karena, seringkali masyarakat mencari-cari dokter, padahal yang mereka butuhkan adalah seorang pendengar yang baik.

Share:

Sunday 17 March 2019

Amunisi buat Mereka yang Hendak Menikah

Ketika hati sedang saling terpaut, bermusyawarah membahas suatu hal yang perlu dibahas menggunakan bahasa romantis dengan istri, saat itu lah keteduhan dan ketenangan turun ke hati. Namun, ketika berbicara berdua sambil membawa amunisi emosi masing-masing, saat itulah kiamat seperti datang. Ada sumpah serapah dan kalimat-kalimat yang menuntut kesempurnaan, saling menyodorkan kelebihan dan kebaikan masing-masing. Yang jomblo belum merasakan dua kondisi ini.
Ini hanya peringatan kepada mereka yang belum memasuki jenjang pernikahan, untuk tidak sekadar mengangguk dan merasa optimis dengan teori dan nasihat perkawinan yang menjadi bekal sebelum duduk di pelaminan dan melanjutkan estafet perjalanan rumah tangga.
Bukan maksud menakut-nakuti. Perjalanan pasca pernikahan tidak cukup mampu dilalui dengan baik jika hanya mengandalkan uang dan materi yang banyak, namun melupakan kesiapan mental spiritual, emosional, dan intelektual.
Para artis itu, Anda tahu kan, mengapa narasi yang sampai kepada kita tentang mereka adalah kawin-cerai-kawin-cerai? Jangan tanya tentang kesiapan materi dan uang. Sebagai penyanyi band yang sekali manggung meraup puluhan bahkan ratusan juta, pemain sinetron dan bintang iklan yang dikontrak dengan uang yang tidak sedikit, kesiapan materi dan uang menjelang menikah, adalah jago mereka. Namun, kurangnya kekuatan mental emosional, spiritual, dan intelektual telah melahirkan narasi kawin-cerai-kawin-cerai itu.
Segunung uang dan materi belum tentu bisa menciptakan kedekatan romantis yang saya sebutkan di muka. Kedekatan romantis tercipta dari ilmu dan akhlak. Misal ilmu tentang cinta dan hak-hak masing-masing suami dan istri, dan akhlak tentang saling mengalah, tidak saling memaksakan kebenaran sehingga timbul debat kusir.
Kendati ketika syuting sinetron atau film para artis itu begitu jago dalam menjadi orang alim, shalih, dan pribadi yang ideal yang bisa menjadi teladan, namun kehidupan nyata mereka belum tentu menampakkan kebaikan di atas. Ustad dalam sinetron dan film bisa jadi malah "preman" dalam rumah tangganya.
Karena hidup berumah tangga adalah praktik, tidak sekadar teori bijak perihal nasihat pengantin, adakalanya pasangan yang masih muda dan jomblo yang hendak menikah tidak gengsi meminta nasihat kepada para pendahulu yang telah menjalani kehidupan rumah tangga, terutama orang tua dan mertua.
Kadang ada pasutri yang menjalani bulan-bulan awal menikah dengan kelewat percaya diri, sehingga banyak hal yang berkenaan dengan hubungan dan berumah tangga terlewati, misalnya tentang menjaga adab kepada mertua, menghormati dan menghargai pasangan, juga tradisi, budaya, lingkungan, dan keluarga baru yang semestinya diperhatikan kemudian diadaptasi.
Perjalanan pasutri pada bulan-bulan awal pernikahan biasanya dipenuhi dengan kegundahan dan kebingungan berkenaan dengan ekonomi, tempat tinggal, visi dan misi masa mendatang, dan sebagainya. Di sini, pada tahap ini, pasutri benar-benar diuji. Hal ini meniscayakan suami untuk benar-benar menjadi laki sejati, belajar memutuskan sesuatu dengan bijak dan berdasarkan hati nurani. Istri juga belajar menjadi partner yang baik, yang mau mempertahankan ketabahan dan mau berpendapat manakala suami membutuhkan solusi.
Sampai pada titik ini, menikah adalah persiapan. Tetapi bukan berarti dengan dalih masih belum siap, seseorang lari dari pernikahan sembari menghabiskan kejombloan dengan melakukan hal-hal yang melanggar norma-norma agama. Ini justru bukan persiapan, melainkan bentuk pelanggaran norma dengan topeng masih belum siap menikah. Selain berdosa, juga mengurangi keberkahan. Percayalah, jika pernikahan dilakukan dengan niat yang bersih dan tulus, Allah akan membantu dan menanggung, sesuai firman-Nya:
إن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله
Yang maknanya kira-kira begini: andai mereka yang berazam untuk menikah fakir, Allah yang akan mencukupi mereka dengan karunia-Nya.
Wal-Lahu a'lam..

Share:

Thursday 14 March 2019

Seandainya Aku Berjumpa Raib, Seli, dan Ali ...

Ketika novel Tere Liye berjudul Bulan menemaniku, menghibur kesedihanku. Novel Tere Liye seperti senyum kepadaku. Eh, bukan buku novelnya, tetapi tiga tokoh utama di dalam novel itu: Raib, Seli, dan Ali, bocah-bocah umur belasan tahun yang sakti mandraguna, seperti Angling Dharma dan Batik Madrim dalam film laga.
Raib mendatangiku, tersenyum, aku membalas senyum. "Hai Ra, ternyata kita bisa bertemu di dunia nyata. Apa kabarmu?"
Si Raib menjawab, "Baik!", dengan wajah ketus. Baru saja ketemu dia sudah nyelonong pergi. Ah, dasar manusia Klan Bulan! La wonk biasanya situ cerewet di dalam novel. Lah sekarang kok ketus gitu? Yaudalah pergi sana. Bukan urusan saya, kata Pak Jokowi hehehe..
Anak ingusan selanjutnya yang datang adalah Seli. Wow wow. Menakutkan sekali. Belum apa-apa dia sudah sok akrab, tiba-tiba segelas kopi di atas meja melayang. Wow, sombong amat. Tapi, aku tahu watak Seli ini. Dia penggemar berat film Korea. Tampaknya, dia membayangkan wajahku seperti artis korea yang berkulit putih mulus, rambut panjang, dan mata sepit. Dia caper kepadaku alias cari perhatian. Aku ganteng bak artis korea? Ya, rambutku pendek, ada sedikit jerawat di wajah, dan kulitku berwarna brown, hehehe.. "Halo Sel, piye kabare bos, penak jamanku to?", aku menyapanya. Tetiba petir menyambarku. Dia merah padam, kecewa, artis Korea yang dia idam-idamkan yang tak lain menurut dia adalah aku, ya aku, galak benar dan gak sopan. Ora nduwe adabe wonk Jowo. Wkwkwk.. Aku yang gosong, tambah semakin gosong. Dan Seli pun pergi meninggalkanku gosong sendiri.
Giliran orang yang ketiga. Si jenius muda bernama Ali. Weleh-weleh mengingatkanku pada Mohammad Ali, petinju terkenal dan legendaris yang gampang bingit membuat KO lawan-lawannya. Tapi dia kan anak umur belasan tahun yang sok jenius dan amat sok pintar. Ingin sekali kuremas-remas pipinya, ingin sekali ku awut-awutkan rambut yang berantakan itu. "Hei, Ali, whatsapp?", Eh aku keliru, mau bilang whats'up keliru Whatsapp, aplikasi android. Ali nggak ketawa blas, apa menariknya meladeni orang bodoh seperti aku dibandingkan dia yang punya IQ 200 wkwkwk, memangnya c*b**g?! Aku bilang kepadanya, "Li, kamu kok kotor banget orangnya, nggak terawat. Bajumu nggak pernah rapi. Kamu pinter tapi nggak pinter ngurus kebersihan diri. Kamu bau, Li, belum mandi." Seketika, Ali marah geram, grrrrr. Tetiba tubuhnya membesar sedikit demi sedikit dan berubah menjadi serigala. Serigala raksasa dengan tinggi enam meter. Wah gawat nih, aku pikir. Kalau aku nggak segera kabur, aku bakal is dead.
Sejurus kemudian, aku mendapati lampu di atasku, bantal di bawah kepalaku, dan buku novel Tere Liye berjudul Bulan di atas dadaku. Ternyata hanya mimpi. Aku tertidur tanpa sengaja ketika asyik-asyiknya membaca novel itu..

Share:

Sunday 10 March 2019

1000 Tahun bersama Blog

Bagi penulis etek-etek sepertiku, blog adalah tempat rehat. Sebuah tempat menyejukkan untuk menumpahkan dan membuang kelebat dan sampah pikiran, setelah dalam tempo-tempo tertentu kita telah menghabiskan begitu banyak tenaga badaniyah sehingga kegiatan intelektualisme kita mandeg alias tidak berjalan. Di blog inilah, kerinduan akan eksistensi muncul.
Menulis adalah proses penguakan eksistensi diri. Benarlah jika dikatakan, "Dengan menulis, maka aku ada", dan Chairil Anwar bahkan, "Ingin hidup seribu tahun lagi".
Manusia menginginkan eksistensi dirinya dapat ia baca. Untuk bisa membacanya, manusia lebih dulu harus menulis. Jika tidak untuk konsumsi orang lain, setidak-tidaknya tulisan itu masih amat berharga untuk dikonsumsi oleh dirinya. "Inilah aku, karena pikiranku adalah aku", demikian benak manusia berkata.
Dalam hingar bingar dan hiruk pikuk duniawi yang penuh dengan tantangan dan kesengsaraan, menulis adalah rehat yang menyamankan. Tapi bukan sekadar rehat seperti dilakukan oleh para pemalas. Penulis adalah manusia yang melanglangbuanakan pikirannya ke mana-mana, bahkan ke alam imajinasi yang dalam dunia riil mustahil ditemukan. Jika seseorang pergi ke Yaman, misalnya, harus meluangkan banyak waktu dan banyak cost agar dapat sampai ke sana, menikmati lingkungan dan panorama sekitar. Namun, menulis tidak butuh itu. Ia hanya butuh imajinasi, sebuah penggambaran dan visualisasi tentang, misalnya, Yaman, untuk kemudian ia tumpahkan ke dalam sebuah teks.
Inilah nyamannya. Instan. Tak perlu pergi ke sana, sudah sampai di sana duluan. Tak pelak orang-orang memilih jalan hidup sebagai penulis. Meskipun jauh lebih banyak yang tidak memilih jalan hidup ini. Karena mereka, barangkali, tidak tahu dan tidak merasakan alangkah sejuk dan nyaman batinnya manakala mereka telah berhasil membuang sampah pikirannya. Ya, mereka tidak merasakan ini, sebab mereka menemukan dunianya sendiri sebagai orang-orang non-penulis. Tak apa, tak masalah, karena itu adalah pilihan mereka.
Tetapi, bangsatnya ialah ketika mereka, orang-orang non-penulis itu mengganggu perjalanan kepenulisan seorang penulis. Mula-mula kegiatan menulis mereka anggap pengangguran, lantas mereka mencibir, dan setelah itu menawarkan sebuah solusi: Jangan duduk-duduk dan menganggur terus, bekerjalah, hasilkanlah uang, carilah rezeki!
Jika sudah begini, kita tidak bisa berharap sama sekali kepada mereka. Tempat berharap adalah Allah. Dia yang mau mengerti kita, memahami kegelisahan hati kita. "Ya Rabb, aku tidak butuh pengakuan dari manusia bahwa aku seorang penulis. Aku hanya ingin seperti apa yang disyairkan oleh Chairil Anwar, hidup seribu tahun lagi, dengan cara menulis. Memberi kemanfaatan, ilmu, dan wawasan kepada umat manusia."
Walau bagaimana pun, syukurlah, Google pengertian sekali. Memahami bahwa para penulis kacangan sepertiku ini juga butuh wadah, butuh apresiasi, dan acungan jempol. Google memberi penghargaan kepada kita, para penulis, semampu dia, yaitu dengan pemberian benefit, via adsense. Bagaimana pun ini adalah hal yang patut kita syukuri. Benefit, adalah sebuah motivator sehingga kita mau menulis. Dan tanpa terasa, tinggal menunggu waktu, beberapa bulan ke depan, tiba-tiba kita sudah menghasilkan dan menciptakan banyak tulisan, seperti yang telah lalu: ketika awal-awal kita bergabung ngeblog, sebulan setelah itu, banyak atau beberapa artikel tanpa terasa sudah kita karang dan ter-publish di blog!
By the way, setelah melewati perjalanan waktu, berapakah jumlah artikel di blogmu?

Share:

Wednesday 6 March 2019

Kebijaksanaan

Jatuh ke dalam sebuah renungan, bijaksana itu apa sih? Apakah bijaksana itu ibarat orang buta yang membawa tanglong? Sebab alkisah di sebuah negeri, pesta besar sedang digelar. Tamu-tamu, termasuk tokoh besar hadir. Termasuk juga para cerdik-cendikia, pelajar, dan orang-orang bijak.
Selang beberapa jam, bulan menyapa para undangan dengan cahaya indahnya. Rupanya, acara pesta telah selesai. Satu persatu para undangan berpamitan kepada tuan rumah sebagai penyelenggara pesta. Ada satu tamu dari kalangan orang bijak, sambil menjulurkan tangan hendak bersalaman untuk pamit, meminta sesuatu kepada tuan rumah, "Apakah tuan tidak keberatan meminjamkan saya sebuah tanglong?" Tuan rumah bertanya heran, "Untuk apa?" Sang bijak menjawab bahwa dia butuh tanglong untuk kembali pulang pada malam hari. Tuan rumah semakin heran, begitu pula undangan lain yang mendengar. Apakah gunanya lampu penerang bagi seorang buta?
"Anda buta atau tidak, sih?", tuan rumah bertanya memastikan. "Mataku buta. Tapi hatiku dapat melihat. Dengan tanglong itu, setidak-tidaknya, cahaya bisa menerangiku. Dengan demikian, orang lain yang sedang lewat tidak menabrakku".
Pendapatnya begitu simpel, dan memang benar-benar bijak. Di dalam benaknya, lampu tidak saja memberi cahaya. Si buta yang bijak itu mampu menempatkan ilmunya dengan tepat sasaran. Orang-orang yang mendengar penjelasan itu insyaf, diam karena faham; menyetujui bahwa pikiran orang bijak itu tidak buta.
Di sini ada kesederhanaan berpikir, dan seseorang yang berpikir secara sederhana tidak sekadar berbicara fakta; juga tidak hanya berbicara tentang teori ilmu. Pemikir sederhana bukan ilmuwan yang sekadar menyodorkan kenyataan dan tidak hanya pandai berspekulasi demi kepentingan pribadi.
Bijaksana itu, berjalan dimanis untuk menggapai kenyataan dan dalam berjubel teori. Berjibaku menilai, masuk ke dalam ideologi yang bergulat. Jadi orang bijak takkan memilih netral. Sebab takkan berhenti berjalan secara dinamis, menggunakan bahasa kaumnya, melindungi mereka, dan mencerahkan mereka. Ketika ia ada, ia menjadi ilham dan akan menciptakan suatu peradaban.
Jadi, hemat saya, mencapai pemikiran yang bijak mesti lebih dari hanya bermodal ilmu, tetapi juga hati.

Share:

Rahim Ibu: Kenikmatan Surgawi Bayi

Bayi yang keluar dari rahim ibu menangis. Karena ia mendambakan ketenangan ketika di dalam rahim ibu. Ternyata dia harus memasuki hingar-bingar dunia yang dipenuhi masalah yang menyedihkan.
Bayi yang mengalami proses keberalihan ini belum siap. Sebab dia bukan orang dewasa yang berpengalaman. Melainkan dia hanya bayi, yang ruang lingkup pengalamannya hanya di dalam rahim ibu. Sang bayi seperti kaget, kenyataan mengantarkan dia pada kehidupan selanjutnya, tanpa persiapan dan kematangan apa-apa, kecuali menangis dan persiapan gembira di dalam dekapan sang ibu.
Ada kedamaian surgawi yang bayi peroleh di dalam rahim. Ia tak perlu usaha apa-apa. Segala kebutuhannya terpenuhi, termasuk kebutuhan gizi dan tempat tinggal, oleh ibu, yang menjadikan pola makannya termenej dan perutnya sebagai rumah tempat tinggal surgawinya.
Lantas, si bayi dipaksa mengenal banyak manusia dan berhadapan dengan mereka. Entah tanpa pemikiran apapun, secara alami, bayi meresponnya dengan mengucurkan air mata, sebab entah dari mana, hati nuraninya yang sangat lugu bisa menelisik ke titik paling jauh tentang kekejaman dunia, kerja keras, kematian, berjubel masalah, dan sebagainya dan seterusnya, pada masa mendatang.
Tentu saja, kita tidak hendak berbicara tentang hal ini secara logis. Keluarnya bayi dari rahim ibu ini bukan deskripsi ilmiah, melainkan deskripsi sastrawi yang bersifat metaforis, sekadar menggambarkan bahwa kehidupan dunia adalah penjara, demi memperoleh kehidupan surgawi setelah kematian.
Dalam tahap dan proses perjalanan kehidupan dunia, bayi, yang kelak akan menjadi dewasa, dan akhirnya tua renta, harus menomorsatukan Penciptanya di dalam sanubari, hati, dan pikirannya. Sebab dengan hanya dengan demikianlah, alam surgawi tidak sekadar euforia, tetapi benar-benar bisa dirasakan meskipun raga sedang berpijak di dunia.
Tak butuh waktu lama, seorang bayi ketika baru saja keluar dari rahim ibu, dituntun oleh orang dewasa untuk merasakan Adikuasa yang menjadi sumber ketenagan itu. Dengan dikumandangkannya adzan dan iqamah di telinga kanan dan kiri, menunjukkan adanya tuntunan, pengajaran dan pendidikan spiritual. Ada harapan, bayi selalu menautkan hati dan pikirannya kepada yang Maha Kuasa, ketika ia beranjak dewasa dan harus tertatih-tatih menghadapi masalah.
Tak diharapkan sama sekali, ketika bayi sudah dewasa kelak, ia mencari kehidupan surgawi di dunia dengan narkotika dan seks bebas. Sebab, keutuhan surgawi tetap justru takkan hilang dari hati sang bayi manakala mencari kehidupan dunia surgawi dengan jalan narkotika dan seks bebas itu.
Bayi menangis mendapati keberadaan dunia, namun sebagai manusia dewasa kelak, bayi akan doyan dengan kenikmatan duniawi yang semu.
Selain itu, bayi akan mendapati banyak kesalahan dianggap kebenaran; banyak maksiat dianggap kebebasan berekspresi. Akan ada yang memberi terkaan bahwa yang haram itu halal. Terbalik. Kelak, bayi akan seolah "melihat bumi dari satelit", dan kelihatan, kebodohan dan nafsu. Ini menjadi alasan imajinatif, mengapa bayi lebih demen menginap di rahim ibu tinimbang terjun ke dunia.

Share:

Sunday 3 March 2019

Hakikat Dakwah

Pada suatu waktu, seorang guru menjelaskan kepada murid-muridnya tentang bahaya rokok dengan penuh semangat dan gairah, bahkan mungkin sampai mulutnya berbusa-busa. Pada waktu istirahat sekolah, guru tersebut duduk-duduk di bawah pohon lalu secara enjoy merokok sambil ditemani secangkir kopi dan sepiring pisang goreng. Apakah penjelasan panjang lebar tentang bahaya rokok tadi punya arti bagi murid-murid?
Jangan dijawab.
Lebih-lebih murid-murid menemukan bahwa merokok merupakan tradisi di lingkungannya: putung rokok berserakan di mana-mana; dalam kongko dan bincang-bincang orang-orang ber-hos-hos-hos-ria. Semua teori tentang bahaya rokok tadi tambah dan semakin tak berguna.
***
Suatu waktu, Kiai Ahmad Dahlan memandikan anak-anak jalanan yang nakal. Beliau dicibiri oleh orang-orang, juga dirasan-rasani. Apa untungnya coba, melakukan pekerjaan semacam itu?
Orientasi beliau bukan untung-rugi: beliau memandikan anak jalanan dengan ikhlas, tanpa mengharap kompensasi materialistis dan pujian apa-apa. Lantas, beliau sedang apa?
Beliau sedang berdakwah. Dakwah itu, pengorbanan.
Ada lagi. Seorang kiai punya santri amat bandel. Pelanggarannya tidak tanggung-tanggung: mabok. Extraordinary crime menurut pak kiai. Pagi-pagi santri ini pasti keluar dari kawasan pondok. Untuk bisa bermabok-ria di lingkungan yang sepi dari pengawasan kiai dan pengurus pesantren. Kumpul dengan preman-preman jalanan.
Berulang kali pengurus pesantren memberinya takzir dan tindakan. Mulai dari menulis kalimat astaghfirullahal-'adzim sebanyak 1000 kali di bawah terik matahari, sampai digundul dan dipukuli pakai penjalin. Jangan tanya kenapa berbagai hukuman tidak jua manjur, tidak jua membuatnya jera. Jangan tanya.
Pak kiai turun tangan. Malam-malam sehabis si santri bermabok-ria, beliau memanggilnya. Beliau memerintahkan santri itu dengan nada sopan untuk tidur di kamar pribadinya pak kiai. Karena si santri mabok kepayang, dia manut saja. Kiai mengemulinya dengan selimut setelah memberi makan, minum, dan obat.
Pagi menjelang. Sekitar pukul tujuh, si santri bangun dan kaget mendapati dirinya berada di atas ranjangnya al-mukarram pak kiai. Tidak shalat shubuh pula.
Akan tetapi, apa efeknya?
Semenjak saat itu, si santri taubat, tidak pernah mabok lagi, selalu mengaji dan acap menghadiri pelaksanaan shalat berjamaah di masjid.
Ini dakwah.
Ada orang mengantuk. Dia tidak langsung naik ke atas ranjang, memeluk guling, dan kemulan selimut. Tidak! Melainkan, dia lebih dulu pergi ke kamar mandi. Selepas membuang air kecil, berwudhu. Kemudian, baru naik ke ranjang tidur. Menghadap kiblat meniduri lambungnya yang sebelah kanan (janbihi al-ayman). Lalu, dia melafalkan ayat kursi, al-mu'wwidzatain, dan ditutup dengan bismi-Kal-Lahumma ahya wabismi-Ka amutu, atas nama-Mu aku hidup, dan atas nama-Mu aku mati.
Karena secara istikamah setiap hendak tidur dia melakukan ini, pasti ada orang yang melihatnya, pasti ada yang meneladani cara tidurnya.
Ini dakwah.
Ada orang sabar. Dicemooh orang, sabar. Berulangkali hatinya disakiti, sabar. Cemoohan tidak dibalas cemoohan pula. Tapi dibalas dengan senyum atau diam.
Ini juga dakwah.
Pernah suatu waktu, seseorang mengeluhkan anaknya yang suka sekali minum dan makan yang manis-manis, hingga menyebabkan anaknya mengidap penyakit kencing manis. Dia matur kepada pak kiai.
"Pak yai, gimana ini anak saya? Berilah saya amalan supaya anak saya berhenti mengonsumsi gula."
Pak kiai tidak menjawab, tetapi memberi pertanyaan balik kepada orang itu, "Apakah kamu suka ngopi?"
"Ya", jawab orang itu.
"Sering ngopi?"
"Njih pak yai. Dalam sehari saya bisa menghabiskan dua gelas kopi".
"Inilah masalahnya!"
"Loh, kenapa, pak yai?"
"Begini", jelas pak kiai, "kamu silakan terus minum kopi, asal jangan pakai gula. Kalau nyuruh anak untuk berhenti mengonsumsi gula, sedangkan kamu masih mengonsumsi kopi pakai gula, kendati kamu nyuruh-nyuruh anak sampai mulut kamu berbusa pun, suruh-suruhanmu tidak akan manjur".
Apakah perintah si bapak kepada anaknya ini adalah dakwah? Ya, dakwah. Akan tetapi, di dalam dakwah, terkadang berteori saja menjadi tidak ada apa-apanya manakala tidak disertai keteladanan.
إذا كان رب البيت للطبل ضارب # فلا تلم الصبيان فيه على الرقص
Jika pemilik rumah gemar menabuh gendang, jangan salahkan jika anak-anak di rumah itu suka menari.
Share:

Thursday 28 February 2019

Bahagia dan Susah

Kalau dipikir-pikir, bahagia dan susah itu mirip, beda tipis dikit. Bahagia dan susah mirip dalam hal silih berganti atau ketidakkekalannya. Bedanya, bahagia merupakan keadaan yang menyenangkan kita, sedangkan susah merupakan keadaan yang tidak menyenangkan kita.
Bahagia atau susah pada dasarnya kerap subjektif, kadang tidak berkaitan dengan objek tertentu. Maksudnya, bahagia atau susah tergantung orangnya, bukan disebabkan sesuatu di luar dia.
Ada dua orang yang sama memakan hidangan yang sama. Yang satu merasa nikmat dan yang satunya lagi kecewa. Apa sebab? Hal ini terjadi karena faktor orangnya yang subjektif tadi.
Yang merasa nikmat adalah orang yang memiliki sikap mental yang bahagia, dan yang merasa kecewa adalah orang yang punya sikap mental yang tidak bahagia. Yang satu punya mental bahagia di dalam dirinya, dan yang satu tidak punya.
Benar jika dikatakan al-Maghfur lah Kiai:
السعادة الحفيقية خارجة عن نفس الناسوت اهتداها اللاهوت، وليست السعادة من له مال كثير ولا هدي وفير، ولكنها من سعد لما هداه الله الغافر
"Kebahagiaan sejati hanya dimiliki oleh jiwa-jiwa yang mendapatkan petunjuk Ilahi, bukan orang yang mendapatkan kekayaan atau penghargaan melimpah. Kebahagiaan sejati adalah milik mereka yang beruntung karena mengikuti dari Sang Maha Pengampun."
Orang boleh punya uang banyak, segala kebutuhannya terpenuhi dengan mudah. Tentu dia bahagia. Tapi belum tentu juga sih. Sebab saat itu juga, saat segala kebutuhan primer, sekunder, dan tersiernya terpenuhi, dia masih membutuhkan sikap mental yang merupakan alat penting meraih kebahagiaan. Ini pun tidak menjamin, karena terkait dengan ketidakkekalan itu tadi.
Mustahil seseorang bahagia terus menerus. Juga mustahil susah terus menerus. Orang yang bahagia terus menerus, lama kelamaan datang juga kesusahan. Orang yang susah terus menerus, lama kelamaan datang juga kebahagiaan.
Karenanya, manakala Sayyidina Uqail bin Abi Thalib menikah, orang-orang mendoakannya demikian: bir-rafa' wal-banin. Artinya: semoga bahagia dan banyak anak.
Sayyidina Uqail menegur orang-orang itu, "Jangan ucapkan doa semacam itu! Akan tetapi, ucapkanlah doa yang diajarkan oleh Rasulullah:
بارك الله لك وبارك عليك وجمع بينكما في خير
Semoga Allah memberkahimu saat engkau bahagia, semoga Allah memberkahimu saat engkau susah, dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.
Sayyidina Uqail melarang orang-orang untuk mendoakannya bahagia, sebab tidak ada perjalanan hidup pasca menikah yang hanya dipenuhi dengan kebahagiaan tanpa kesusahan. Sebagaimana disebutkan tadi, bahwa mustahil manusia bahagia terus tanpa susah sama sekali, sebagaimana mustahil manusia susah terus tanpa bahagia sama sekali. Karena bahagia dan susah itu tidak kekal dan silih berganti, maka yang dibutuhkan seseorang adalah berkah: bahagia yang berkah, sebagaimana susah tapi berkah.
Lantas, bagaimana supaya mendapatkan kebahagiaan dan kesusahan yang dipenuhi berkah?
Menumbuhkan mental bahagia. Yaitu dengan cara melafalkan syukur secara lisan, memupuk syukur di dalam jiwa, dan mengekspresikan syukur melalui perbuatan.
Orang yang mampu mempertahankan syukur, akan datang keridhaan atau kerelaan. Orang yang ridha atau rela, dia akan bahagia. Bahkan, manakala dia tertimpa kesusahan, dia menganggap kesusahan itu sebagai kenikmatan. Karenanya dia bersyukur. Ini sebagaimana dituturkan oleh Imam al-Ghazali ketika ia menjelaskan tentang orang yang bermental ridha. Kenikmatan dan cobaan nyaris tidak ada bedanya. Kenikmatan yang melahirkan kebahagiaan dan cobaan yang melahirkan kesusahan, adalah kenikmatan itu sendiri. Sikap "tidak ada bedanya" inilah yang terpatri dalam jiwa Sayyidina Umar bin al-Khattab, manakala beliau mengatakan, "Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah antara keduanya yang baik menurut Allah bagiku."

Share:

Ngerasani, Topik Trending sampai Hari Kiamat

Mungkin, sampai kiamat tiba pun, topik tentang keburukan dan aib sesama tetap naik daun sebagai topik paling trending mengalahkan topik-topik yang lain. Orang-orang begitu enteng menggerakkan lidah mereka untuk mengungkap keburukan dan aib sesama. Tidak butuh pemikiran matang dan usaha super untuk meneliti keburukan sesama, kemudian membicarakannya. Menjadi profesional dalam soal ini tidak membutuhkan usaha intelektual, cukup emosi.
Inilah yang menyebabkan orang-orang kita mudah main rasan-rasan. Yaitu ketika rasa benci dan dendam merasuk ke dalam jiwa, maka pemilik jiwa akan terdorong dan terangsang untuk memperburuk citra orang yang ia benci dan ia dendami. Hanya bermodal kemarahan dan kebencian untuk melakukan hal ini.
Kadang-kadang, orang yang menjadi objek penggunjingan adalah orang terdekat, kerabat, sahabat, atau teman. Tidak ada kebencian di sana. Akan tetapi, namanya saja obrolan, ketika lengang tidak ada orang yang membuka dan melanjutkan obrolan, ngerasani orang-orang dekat adalah jalan keluar supaya obrolan kembali hangat. Tanpa terasa dan tanpa rencana, tiba-tiba saja, keburukan dan aib sesama telah menghangatkan suasana kongko itu.
Nah, karena sejak dulu sudah trending dan sampai kiamat tiba tetap akan trending, dosa menggunjing alias ghibah ini seperti tidak ada. Dosa lisan yang rentan merusak kohesi sosial ini seperti bukan lagi dosa, melainkan dianggap kebiasaan sehari-sehari yang lumrah terjadi. Akhirnya, kita pun memakluminya, membiarkan orang-orang berrasan-rasan-ria, bahkan tanpa terasa kita berurun rasan-rasan di tengah rasan-rasan orang-orang
Padahal, tidak butuh dalil apapun untuk mengatakan bahwa ghibah, atau menggunjing, atau ngerasani adalah perbuatan buruk. Namun sekali lagi, perbuatan buruk, seburuk apapun, jika sudah biasa dikerjakan, akan menjadi "perbuatan baik". Seolah sebuah keniscayaan, jika obrolan tidak dibumbui dengan ngerasani, obrolan itu tidak akan hangat.
Adakalanya sebagian kita mengetahui bahwa ngerasani itu kebiasaan yang tidak baik. Tetapi, karena ada unsur keasyikan di sana, kita mau tidak mau, sadar tidak sadar, akan menjadi asyik juga menggunjing sesama.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan perbuatan menggunjing asyik dikerjakan. Salah satu dari faktor-faktor tersebut ialah, karena, dengan menggunjing, penggunjing merasa telah dianggap baik oleh pendengarnya dan objek yang digunjing akan turun reputasinya. Penggunjing merasakan keamanan dari stigma buruk pendengar manakala membicarakan aib dan keburukan sesama. Artinya, penggunjing mendambakan kenaikan reputasi diri melalui cara menurunkan dan merendahkan reputasi orang lain.
Dalil dan argumentasi dipaparkan kepada orang yang terbiasa menggunjing, tetapi ini percuma, karena dia telah menemukan "kamar barunya" yang mengasyikkan dan mendamaikan.
Bagaimana pun, beranikah kita, ketika "seminar kecil" penggunjingan sedang berlangsung, untuk memalingkan wajah, atau menudukkan kepala, atau menegur secara langsung, yang menandakan ketidaksetujuan dan ketidaksukaan kita pada perbuatan bejat menggunjing yang saat itu sedang berlangsung?
Kadang kita berani, kadang tidak. Jika penggunjing adalah orang yang lebih tinggi derajat sosialnya daripada kita, kita bisa jadi tak berani. Takut dijauhi. Takut dibenci.
Alih-alih, ketika "budaya" ngerasani sedang berlangsung kita ikut nimbrung di dalamnya, mengapa kita tidak berani menghadapi "budaya" ngerasani para penggunjing sadar akan perbuatan kelirunya. Jika tidak berani mengungkapkan ketidaksetujuan kita secara verbal pada pekerjaan menggunjing, kita bisa menggunakan bahasa non-verbal atau ekspresi ketidaksukaan kita mana pada pekerjaan ngerasani itu.
Mulailah dari sini, dari langkah kecil mengekspresikan ketidaksetujuan dengan cara, misalnya, berpaling muka. Sebab, ngerasani sudah "membudaya" dan sulit terpisahkan dari obrolan dan jangongan tak resmi. Mengubahnya atau menghapusnya bisa dimulai secara gradual, sedikit demi sedikit, dan persuasif.

Share:

Tuesday 26 February 2019

Luntang-Luntung yang Tidak Penting tetapi Penting

Aku (seperti) orang yang luntang-luntung di sebuah desa alias perkampungan. Terisoliasasi. Karena bingung harus ke mana, akhirnya aku harus terus jalan tanpa menghiraukan bagaimana tanggapan orang dan betapa lucunya diriku. Ora ngurus bagaimana pun dan embuh, itu urusan orang-orang dan urusanmu.
Ada hal penting yang membuatku tetap berada di atas pijakan kaki yang mantap, yaitu khidmah dan ilmu. Dan ada lagi, tapi aku berat sekali menyebutnya. Apalagi kalau bukan NYAWAH.
Khidmah, ilmu, dan, aku agak risih menyebutnya, sawah merupakan peneguh hatiku di tengah kememblean cangkem orang-orang yang kerap tidak punya adab dalam melontarkan isi otak mereka. Saya tidak mau menyebut siapa mereka. Biar saja. Dan ini adalah bentuk dari tantangan kecil yang aku anggap amat besar. Sebab, seringkali di tengah cibiran dan cangkem manungso yang tak terjaga, hati dan jiwaku mesti berdebar-debar dan aku mesti berusaha dan terus berusaha memperkuat diri mempertahankan prinsip dan berusaha menyingkirkan rasa malu yang sangat tidak penting.
Aku tetap bertahan, jujur saja, karena tiga hal itu. Tetapi hakikatnya, pertahanan dengan tiga hal itu adalah sekadar metafor, sebab hakikat yang memberiku pertahanan sehingga aku dapat berpijak di atas tanahk kepercayaan diri adalah, siapa lagi, jika bukan Allah–subhana-Hu wata’ala.
Sudahlah, kamu jangan banyak tanya, atau banyak berprasangka. Aku bukan sufi atau orang sok suci. Atau sebenarnya kamu memang tidak paham apakah itu sufi dan tasawuf. Apa yang aku katakan adalah benar adanya. Suatu kebenaran yang faktual, yang tidak cukup sekadar diyakini, tetapi juga disadari bahwa itu adalah kebenaran. Berbicara kebenaran berarti berbicara akidah. Berbicara akidah berarti berbicara Allah–subhana-Hu wata’ala.
Kembali ke substansi di muka, yaitu soal luntang-luntung. Mau dibilang luntang-luntung, memang begini adanya. Mau dibilang tidak, ya tidak juga. Toh hidupku normal sebagaimana manusia lain. Masalahnya adalah, aku tidak tahu apa yang membuatku luntang luntung dan luntang luntung sendiri itu apa aku tidak mengerti. Aku seperti tersesat dalam jurang yang embuh seperti apa bentuknya. Kamu paham kan maksudku?
Aku tahu kamu tidak akan paham. Dan itu urusanmu, bukan urusanku.
Terimakasih telah membaca tulisan ini sampai selesai. Maaf.

Share:

Nggak Punya Waktu Buat Bekerja

Aku beberapa hari ini sedang menikmati sebuah buku tentang peta perang pemikiran kontra liberal. Kamu bisa membayangkan, betapa sulitnya melahap buku ini bagi seorang yang hidup di tengah masyarakat yang buta membaca, jauh dari unsur intelektual, dan jauh dari perpustakaan.

Aku hidup di tengah masyarakat pekerja dan petani, atau lebih tepatnya masyarakat kultural, bukan intelektual. Aku bukan anti terhadap mereka. Aku tetap memaklumi bahwa mereka adalah masyarakat dan aku adalah bagian dari mereka. Akan tetapi, hidup dalam kondisi masyarakat seperti ini membuatku memiliki tantangan tersendiri.

Ketika aku duduk-duduk dalam rangka membaca buku atau berpikir mengenai pemikiran yang aku dpaat dari buku, aku merasakan sesuatu yang tidak mengenakkan, menyesakkan dada. Aku dianggap pengangguran yang tidak punya pekerjaan, karena sering duduk-duduk terus. Aku bisa saja mengabaikan bagaimana pun tanggapan mereka. Tapi bagi seorang yang tidak cuekan seperti aku, itu sulit. Aku kerap memasukkan tanggapan mereka ke dalam hati, sehingga membuatku sakit hati. Atau bahasa gampangnya adalah baper.

Tapi tak apa. Tak masalah. Dengan Taufik dari Allah, aku akan hadapi semua ini. Bagaimana pun, tugas seorang pelajar adalah tetap belajar, dan setiap muslim mestinya adalah seorang pelajar. Meski aku punya tanggung jawab terhadap istri dan terhadap lingkungan-masyarakat sekitar, aku akan tetap pada jalan yang menurutku adalah terbaik, yaitu belajar dan mengajar. Aku harus tetap membaca terus dan membaca. Aku harus tetap menulis terus dan menulis. Tidak ada yang bisa menghentikanku walau bagaimana pun keadaanya. Karena kegiatan intelektual tidak boleh berhenti dan mandeg di tengah jalan. Bagaimana pun keadaannya, aku tetap harus meniti jalan yang aku pilih.

Semua ini, semoga berkenaan dan berbarengan dengan Rahmat, Pertolongan, dan Petunjuk Allah. Mudah-mudahan Allah menolongku menghadapi semua ini. Amin..

Oh ya, ada yang terlewatkan. Aku bukan tidak ingin menjadi orang kaya raya. Aku sungguh sangat ingin. Namun keinginanku untuk menjadi kayaraya ini tidak sebesar keinginanku untuk terus membaca dan menulis. Kadang, muncul di dalam pikiranku bahwa aku ogah jadi orang kaya. Tapi aku takut jatuh pada zona berburuk sangka kepada Allah. Padahal Allah adalah Dzat yang Maha Kaya dan Maha Kuasa.

Masalahnya adalah, soal waktu atau soal aku yang tidak mau diatur sana-sini oleh orang lain. Aku tidak mau menjadi budaknya dunia, sehingga membuat dada ini sesak. Kalau masalah pengabdian kepada ilmu yang sekira membuatku untung dan bahagia, aku mau disuruh-suruh. Asalkan aku mendapat ilmu. Kalau aku diperintah sana-sini karena urusan harta, aku berat sekali. Amat berat.

Masalah waktu, kamu tahu, hidup ini hanya sekali dan hanya sebentar. Betapa bodohnya kita jika kita hanya mengisi kehidupan ini hanya dengan kerja-kerja dan kerja, seperti digembar-gemborkan oleh Jokowi. No. Hidup bukan hanya soal gerakan tubuh, tetapi juga soal gerakan hati dan pikiran. Alangkan eman waktu demi waktu yang aku lewati jika hanya mendapatkan duit alias fulus. Hal ini tidak sebanding dengan berharganya waktu yang mestinya aku isi dengan mencari dan menyerap ilmu.

Sekali lagi, aku ingin kaya, atau lebih tepatnya ingin mandiri dan punya usaha sendiri, agar aku bebas bergerak ke sana ke mari, mau belajar oke, mau duduk-duduk oke, mau begini dan geitu ya juga oke. Lebih tepatnya, aku ingin punya toko yang dari sana aku punya pemasukan sehingga bisa membungkam mulut si anu agar dia tidak merengek terus, sehingga aku bisa membaca dan menulis dengan tenang.

Sebab apa? Sebab aku sangat sedih apabila aku tidak mempunyai waktu untuk diri sendiri. Bagaimana pun, aku butuh banyak waktu dengan diri sendiri, yang aku isi dengan kegiatan intelektual, membaca maupun menulis.

Begitu saja.

Share: