Sunday 20 March 2016

Serangan Umum dan RUU KPK

Kalau kita pergi ke sekitar kawasan Titik Nol Kilometer, kita lihat sebuah monumen yang berdiri gagah: mengingatkan kita pada peristiwa sejarah yang berdarah-darah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dipimpin oleh Jendral Besar Soedirman kala itu merebut kembali Yogyakarta yang sebelumnya telah dicaplok dan dikuasai oleh Belanda. Hari ini, pada tanggal 1 Maret ini, kita mencoba untuk melakukan hal yang mulia: memetik ibrah dari peristiwa bersejarah yang diistilahkan dengan Serangan Umum 1 Maret 1949 ini.
Sebelum memulai mengambil pelajaran, mari kita memperhatikan dan membahas salah satu fenomena yang sedang terjadi, yang mengguncang dan mewarnai negeri ini. Salah satu fenomena itu ialah pro-kontra rencana Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK), bersamaan dengan munculnya RUU Tax Amnesty (Pengampunan Pajak).
Syahdan, fraksi-fraksi sejumlah partai (PDI-P, Partai Nasdem, Partai Golkar, PPP, Partai Nasdem, dan PKB) memasukkan RUU KPK ini ke dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional), melalui draft yang mereka ajukan. Hal ini mendapat protes keras dari banyak pihak, karena dianggap upaya untuk melemahkan KPK, yang berimbas pada lemahnya pemberantasan korupsi.
Di tengah pro kontra ini, DPR dan Pemerintah pun sepakat untuk menunda pembahasan RUU KPK. Setelah kesepakatan penundaan ini, fraksi DPR, fraksi PKS, dan fraksi Gerindra, tidak saja mendesak agar DPR sebaiknya membahas RUU Tax Amnesty, tetapi juga mendorong agar RUU KPK dicabut dari Prolegnas. Bahkan, kumpulan cendikiawan yang menyebut diri sebagai alumni Sekolah Antikorupsi (SAKTI) Indonesia Corruption Watch membuat petisi di website www.change.com yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, agar tidak membunuh atau melemahkan KPK dengan dalih merevisi undang-undang.
***
Kembali ke perihal Serangan Umum di muka. Indonesia pada 17 Agustus 1945 ternyata belum sepenuhnya merdeka. Saat keamanan para pemimpin nasional dan Dwi Tunggal di Jakarta masih dalam belenggu ancaman penjajahan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengirim telegram kepada Presiden Bung Karno dan Wakilnya Bung Hatta untuk mengungsi sementara ke Yogyakarta.
Pada 19 Desember 1948, Belanda melakukan agresi militer yang menyebabkan Yogyakarta jatuh ke dalam kekuasaan Belanda. TNI dengan komando Jendral Soedirman kala itu menyerang pihak Belanda secara protektif sebanyak empat kali, yaitu pada 29 Desember 1948, 9 Januari 1949, 16 Januari 1949, dan 4 Februari 1949. Namun, sayang, perjuangan TNI belum kunjung berhasil dalam menghengkang pihak musuh. Kegagalan ini memperkuat propaganda Belanda di mata internasional bahwa TNI sudah mati.
Maka, dihelatlah pertemuan rahasia pada 14 Februari 1949. Ditemukan kata mufakat untuk melakukan serangan besar-besaran pada pagi hari tertanggal 1 Maret 1949, yang antara lain bertujuan untuk membuktikan pada dunia internasional bahwa TNI dan Republik Indonesia masih kuat. Yogyakarta pun berhasil direbut lagi hanya dalam tempo beberapa jam di siang hari. Kandaslah propaganda Kolonial Belanda.
***
Monumen Serangan Umum 1 Maret 1945 yang berdiri gagah di sekitar wilayah Titik Nol Kilometer itu, menjadi bukti bahwa TNI pantang menyerah meskipun dalam posisi sedang tersudut.
Ketika gerakan masif belanda tidak bisa dihalau dengan serangan gerilya, digagaslah serangan besar-besaran yang mampu membungkam mulut senapan mereka.
Ketika korupsi telah membudaya dan menjadi warisan sejarah, dan hari-hari ini KPK sebagai pengawal pemberantasan korupsi sedang dalam keadaan getir, Presiden Jokowi mestinya segera mengambil langkah yang tanggap dan sikap yang jelas, bukan?
Share:

0 comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar! '-'