Sebelum
memulai mengambil pelajaran, mari kita memperhatikan dan membahas salah satu
fenomena yang sedang terjadi, yang mengguncang dan mewarnai negeri ini. Salah
satu fenomena itu ialah pro-kontra rencana Revisi Undang-Undang Komisi
Pemberantasan Korupsi (RUU KPK), bersamaan dengan munculnya RUU Tax Amnesty
(Pengampunan Pajak).
Syahdan, fraksi-fraksi
sejumlah partai (PDI-P, Partai Nasdem, Partai Golkar, PPP, Partai Nasdem, dan
PKB) memasukkan RUU KPK ini ke dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional),
melalui draft yang mereka ajukan. Hal ini mendapat protes keras dari banyak
pihak, karena dianggap upaya untuk melemahkan KPK, yang berimbas pada lemahnya
pemberantasan korupsi.
Di tengah pro
kontra ini, DPR dan Pemerintah pun sepakat untuk menunda pembahasan RUU KPK.
Setelah kesepakatan penundaan ini, fraksi DPR, fraksi PKS, dan fraksi Gerindra,
tidak saja mendesak agar DPR sebaiknya membahas RUU Tax Amnesty, tetapi juga mendorong
agar RUU KPK dicabut dari Prolegnas. Bahkan, kumpulan cendikiawan yang menyebut
diri sebagai alumni Sekolah Antikorupsi (SAKTI) Indonesia Corruption Watch membuat
petisi di website www.change.com
yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, agar tidak membunuh atau melemahkan
KPK dengan dalih merevisi undang-undang.
***
Kembali ke perihal
Serangan Umum di muka. Indonesia pada 17 Agustus 1945 ternyata belum sepenuhnya
merdeka. Saat keamanan para pemimpin nasional dan Dwi Tunggal di Jakarta masih
dalam belenggu ancaman penjajahan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengirim
telegram kepada Presiden Bung Karno dan Wakilnya Bung Hatta untuk mengungsi
sementara ke Yogyakarta.
Pada 19
Desember 1948, Belanda melakukan agresi militer yang menyebabkan Yogyakarta
jatuh ke dalam kekuasaan Belanda. TNI dengan komando Jendral Soedirman kala itu
menyerang pihak Belanda secara protektif sebanyak empat kali, yaitu pada 29
Desember 1948, 9 Januari 1949, 16 Januari 1949, dan 4 Februari 1949. Namun,
sayang, perjuangan TNI belum kunjung berhasil dalam menghengkang pihak musuh. Kegagalan
ini memperkuat propaganda Belanda di mata internasional bahwa TNI sudah mati.
Maka, dihelatlah
pertemuan rahasia pada 14 Februari 1949. Ditemukan kata mufakat untuk melakukan
serangan besar-besaran pada pagi hari tertanggal 1 Maret 1949, yang antara lain
bertujuan untuk membuktikan pada dunia internasional bahwa TNI dan Republik Indonesia
masih kuat. Yogyakarta pun berhasil direbut lagi hanya dalam tempo beberapa jam
di siang hari. Kandaslah propaganda Kolonial Belanda.
***
Monumen
Serangan Umum 1 Maret 1945 yang berdiri gagah di sekitar wilayah Titik Nol
Kilometer itu, menjadi bukti bahwa TNI pantang menyerah meskipun dalam posisi
sedang tersudut.
Ketika gerakan
masif belanda tidak bisa dihalau dengan serangan gerilya, digagaslah serangan
besar-besaran yang mampu membungkam mulut senapan mereka.
Ketika korupsi telah membudaya dan menjadi
warisan sejarah, dan hari-hari ini KPK sebagai pengawal pemberantasan korupsi
sedang dalam keadaan getir, Presiden Jokowi mestinya segera mengambil langkah yang
tanggap dan sikap yang jelas, bukan?
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar! '-'