Wednesday 6 March 2019

Kebijaksanaan

Jatuh ke dalam sebuah renungan, bijaksana itu apa sih? Apakah bijaksana itu ibarat orang buta yang membawa tanglong? Sebab alkisah di sebuah negeri, pesta besar sedang digelar. Tamu-tamu, termasuk tokoh besar hadir. Termasuk juga para cerdik-cendikia, pelajar, dan orang-orang bijak.
Selang beberapa jam, bulan menyapa para undangan dengan cahaya indahnya. Rupanya, acara pesta telah selesai. Satu persatu para undangan berpamitan kepada tuan rumah sebagai penyelenggara pesta. Ada satu tamu dari kalangan orang bijak, sambil menjulurkan tangan hendak bersalaman untuk pamit, meminta sesuatu kepada tuan rumah, "Apakah tuan tidak keberatan meminjamkan saya sebuah tanglong?" Tuan rumah bertanya heran, "Untuk apa?" Sang bijak menjawab bahwa dia butuh tanglong untuk kembali pulang pada malam hari. Tuan rumah semakin heran, begitu pula undangan lain yang mendengar. Apakah gunanya lampu penerang bagi seorang buta?
"Anda buta atau tidak, sih?", tuan rumah bertanya memastikan. "Mataku buta. Tapi hatiku dapat melihat. Dengan tanglong itu, setidak-tidaknya, cahaya bisa menerangiku. Dengan demikian, orang lain yang sedang lewat tidak menabrakku".
Pendapatnya begitu simpel, dan memang benar-benar bijak. Di dalam benaknya, lampu tidak saja memberi cahaya. Si buta yang bijak itu mampu menempatkan ilmunya dengan tepat sasaran. Orang-orang yang mendengar penjelasan itu insyaf, diam karena faham; menyetujui bahwa pikiran orang bijak itu tidak buta.
Di sini ada kesederhanaan berpikir, dan seseorang yang berpikir secara sederhana tidak sekadar berbicara fakta; juga tidak hanya berbicara tentang teori ilmu. Pemikir sederhana bukan ilmuwan yang sekadar menyodorkan kenyataan dan tidak hanya pandai berspekulasi demi kepentingan pribadi.
Bijaksana itu, berjalan dimanis untuk menggapai kenyataan dan dalam berjubel teori. Berjibaku menilai, masuk ke dalam ideologi yang bergulat. Jadi orang bijak takkan memilih netral. Sebab takkan berhenti berjalan secara dinamis, menggunakan bahasa kaumnya, melindungi mereka, dan mencerahkan mereka. Ketika ia ada, ia menjadi ilham dan akan menciptakan suatu peradaban.
Jadi, hemat saya, mencapai pemikiran yang bijak mesti lebih dari hanya bermodal ilmu, tetapi juga hati.

Share:

0 comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar! '-'