Tuesday 16 June 2015

Listrik Padam

Ketika sedang asyik duduk di depan layar komputer, tiba-tiba saja listrik padam. Tetapi, alhamdulillah sudah saya save. Suasana gelap. Supaya terang, lilin-lilin dipasang di tengah dan di pojok ruangan.
Di saat listrik padam, cobalah kamu berkeliling ke rumah-rumah tetangga. Mereka tidak akan memproduksi makanan atau menjalankan saluran air di kamar mandi. Anak merengek-rengek, ibu mengeluh, ayah berusaha mencari lilin sebagai penerang, sang kakak yang biasanya nonton tv, akhirnya harus “berpuasa” dari nonton tv.

Atau, langsung saja, suatu saat ketika listrik hidup, kamu pergi ke Kantor PLN dan matikan listrik tanpa sepengetahuan petugas. Maka, desa, kecamatan, atau bahkan kota, listriknya mati semua. Dengan demikian, kamu bisa berkeliling melihat-lihat Kantor Polisi, sekolah-sekolah negeri, mall, hotel berbintang lima, dan tempat-tempat besar lainnya. Lihatlah, mereka semua mandeg.

Ekonomi, politik, budaya, dan tradisi, akan buyar jika tanpa listrik. Pabrik-pabrik bisa bangkrut. Coba kamu bayangkan, ketika bos dan karyawan-karyawannya mendapati listrik padam dalam tempo yang relative lama, berapa banyak kerugian pabrik yang harus mereka tanggung bersama-sama. Presiden dan menteri-menterinya bisa leren. Warnet-warnet di pinggiran jalan sudah pada tutup pintu. Pengajian akbar yang diisi oleh muballigh kacangan yang populer tak lagi berjalan dengan mulus. Segala hal jadi stagnan alias sukut.
Listrik adalah jantung peradaban modern. Tanpa listrik, aktivitas dan kegiatan berhenti dan semu. Seperti orang kalau tidak punya jantung, mati, tidak bergidik sedikit pun.

Akan tetapi, kenapa orang-orang dulu bisa beraktivitas tanpa listrik? Tahukah kamu, Imam as-Suyuthi mampu mencipatakan 1092 karya tanpa menggunakan listrik. Bahkan, beliau tidak mengenalnya sedikit pun selama hidupnya. Imam al-Ghazali, Said bin Musayyab, Rasulullah, pada masa yang sangat lampau, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan terus ke belakang hingga Nabi Adam, tidak menggunakan listrik sama sekali. Tetapi mengapa peradaban berjalan sebagaimana mestinya.

Tentunya, peradaban dulu dan peradaban sekarang berbeda. Sekarang, menuntut adanya listrik. Dulu tidak. Keperluan peradaban para tokoh itu berbeda dengan kita sekarang.

Akan tetapi, mari sejenak merenung. Ternyata, matinya listrik seakan membawa kita kepada fitrah dan kehidupan sejati. Aku akan mengajakmu berpikir, jika listrik hidup, kita akan melihat segalanya di sekitar kita, dan kita tertarik untuk mendekatinya. Tetapi ketika listrik mati, kita tidak dapat melihat apa pun, sehingga pikiran kita nyaris kosong, dan saat itulah barangkali kita bisa berfokus untuk berhadapan dengan Tuhan.

Tidak adanya listrik tidak selalu identik dengan menurunnya produksi. Setidak-tidaknya, matinya listrik membawa kita pada alam untuk memperoleh ilmu baru, ketenangan hati dan rohani, mengasah spiritualisme kita dengan Allah. Kita bisa melakukan shalat Tahajud dengan khusyuk, bertafakkur, berzikir, dan memperbanyak hal secara spiritual ataupun intelektual. Mati atau hidupnya listrik bukan jadi masalah. Tetapi, kebiasaan penggunaan. Maka, kita dituntut untuk selalu pintar memanfaatkan sesuatu dalam momen suka, duka, sedih, senang, tenang, gembira, bingung, terhimpit dan lain sebagainya. Dengan demikian, kita bisa mencari produktivitas dunia akhirat.[]
Share: