“Maka
tidaklah disebut mazhab pada
masa saat ini kelompok dengan kriteria-kriteria sifat yang telah disebut tadi,
kecuali hanya mazâhibul-arba’ah’ (yaitu mazhab Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal). Selain
dari yang empat itu, seperti mazhab Syiah Imamiyah
dan Syiah Zaidiyah, maka mereka adalah ahlul-bid’ah yang tidak boleh berpegang pada
pandangan-pandangan mereka”
Hadratusy-Syekh K.H. Hasyim Asy’ari (1292-1366 H/1875-1947
M)
dalam karyanya, “Risâlah fî Ta’akkudil-Akhdzi
bil-Madzâhib al-Arba‘ah, hal. 29.
Seorang
simpatisan NU pernah bertanya, “Mengapa dalam NU itu sering terjadi
perbedaan mengenai sikap dan prinsip ke-NU-annya? Yang satu mengatakan ini, yang
lainnya berkata itu. Apakah NU sudah tidak Ahlussunnah, sebab orang-orang dalam
organisasinya sudah tidak berjamaah lagi?”
Ya,
benar. Belakangan ini memang terjadi beberapa hal ganjil dalam internal NU. Gejolak
yang sedang melanda NU saat ini tidak sebagaimana biasanya. Sebab, ia telah merupa seperti penyakit kronis
yang menggerogoti tubuh NU dari dalam dan sekarang telah mencuat ke permukaan. Penyakit
itu sudah sedemikian parahnya dan sulit ditangani, bahkan oleh dokter spesialis sekalipun. Kecuali,
bila nantinya ada keajaiban yang dilimpahkan Allah I
pada NU, maka Insyâallâh
masalah itu akan teratasi hingga ke akar-akarnya.
Dikatakan
sudah kronis, sebab penyakit itu telah menjangkit kalangan teras atas dalam
jajaran kepengurusan NU. Coba Anda bayangkan, jika seorang pimpinan tertinggi melontarkan
pernyataan yang “tidak benar” di depan komunitasnya sendiri dan orang-orang
setianya, maka hitung saja, ada berapa massa yang akan menyeleweng dan
melenceng dari jalur benar gara-gara ucapan tak berdasar yang dikatakan sang
pimpinan? Berapa banyak individu yang–paling
tidak–akan dibuat
bingung, tidak tahu, mana yang benar dan yang salah, justru hanya karena
lontaran sepele dan remeh dari pimpinan mereka? Dan, penyakit kronis semacam inilah
yang sedang melanda internal NU saat ini.
Infiltrasi Syiah di
Tubuh NU
Bagaimana
tidak, dengan suara lantang dan tanpa sungkan, seorang tokoh pentolan NU berkomentar—menanggapi
kelanjutan kisruh akibat pembakaran sebagian infrastruktur milik komunitas Syiah
di Sampang Madura,[1]–bahwa “Syiah itu bukan aliran sesat dan
masih termasuk dalam kelompok al-firaq al-Islâmiyyah”, katanya.
Tidak cukup di situ, tanpa rasa
ragu dan sambil
membawa-bawa nama NU, dalam pernyataannya, ia mengatakan bahwa NU sendirilah
yang memfatwakan demikian (Syiah masih terhitung sebagai firqah-islamiyah)
pada tahun 2006, “NU tidak pernah keras,”
lanjutnya.[2]
Padahal, pernyataan tertulis dari pendiri NU dalam kalimat pembuka di atas—yang
dikutip langsung dari kitab karya beliau—sudah dengan tegas menolak Syiah; sangat
jelas dan terang-terangan
tak
ubahnya terik matahari di siang hari.
Sebenarnya,
bukan hanya sekali-dua kali pernyataan kontroversial yang pernah dilontarkan
KH. Said Agil Siraj. Sejak awal dan sebelum Kang Said menjabat sebagai petinggi
NU, sudah banyak kalangan dari internal NU yang mempermasalahkan sepak terjangnya,
sebab ia selalu ingin tampil beda, tentu dengan gaya khas kontroversialnya. Terbukti,
ia bahkan pernah menjabat sebagai anggota kehormatan “Majelis Tinggi Agama
Konghucu Indonesia” untuk periode 1999-2002 M.
Nah,
soal kedekatan tokoh NU itu dengan kalangan Syiah, terutama komunitas Syiah di Indonesia,
tentunya akan menjadi topik yang menarik diperbincangkan. Persinggungan dirinya
dengan kalangan Syiah tanah air seakan sudah menjadi darah dalam daging, sangat
sulit untuk dipisahkan, apalagi disembuhkan. Entah, sudah berapa acara yang
diselenggarakan oleh komunitas Syiah, berupa acara “Asyura” atau acara ratapan bersama mengenang kematian Imam
Husain, yang diidolakannya. Bahkan, sebagaimana lumrahnya ritual Syiah, tak
jarang dalam acara tersebut menampilkan satu sesi acara yang dibumbui dengan caci-maki
kepada para Sahabat Nabi r, atau dengan memanjatkan
doa laknat untuk organisasi NU dan seluruh pengikutnya.[3]
Sungguh ironis dan menjengkelkan.
Tak
hanya itu, tokoh NU yang satu ini bahkan memiliki hubungan yang cukup dekat
dengan kalangan Syiah Internasional. Terbukti lagi, bahwa ia pernah beberapa
kali berkunjung ke Iran, negara yang katanya populer dengan sebutan “Negeri
Seribu Mullah” itu. Kasus ini pun sempat membuat gerah bercampur malu pihak internal
NU.[4]
Bagaimana mungkin, kasus aneh semacam itu bisa terjadi. Sungguh ajaib, bahkan di
luar tingkat kewajaran sikap kedewasaan!
Dan
menurut kabar paling anyar, ternyata diam-diam
dan tanpa sepengetahuan Dewan Syuriah Pengurus Besar NU (PBNU), KH. Said Agil membuat
kesepakatan dengan pihak Iran via salah satu universitas ternama yang berpusat di
Qom, Iran. Tepatnya pada bidang pendidikan, riset, dan kebudayaan Iran. Untung saja, kesepakatan terselubung itu berhasil
dibatalkan oleh Dewan Syuriah PBNU.[5]
Akhirnya, tokoh kontroversial NU itu kelabakan dan tak mampu berkutik lagi.
Dari
sini jelas, bagaimana pengaruh Syiah telah menjangkiti sebagian oknum internal
NU. Jika ini tidak cepat mendapat penanganan dari ahlinya, maka tidak menutup
kemungkinan penyakit yang menjadi benalu dalam tubuh NU itu akan semakin mengganas,
menggerogoti, dan merusak NU dari dalam.
Nostalgia NU dengan Syiah
Jika
ada seorang oknum NU misalnya mengatakan, “Tidak ada masalah bila berhubungan
dengan pihak Syiah”, maka ketahuilah bahwa ia telah melanggar dan menodai Undang-Undang
paling fundamental yang telah digariskan sejak awal oleh Hadratusy-Syekh KH.
Hasyim Asy’ari -radhiyallâhu ‘anhu-, sang pendiri NU.
Dan
untuk kesekian kalinya, bukankah pernyataan teks yang ditulis langsung oleh tangan
Hadratus-Syekh sendiri itu sudah jelas dan lebih kuat nilainya dibanding
lontaran sekilas dari mereka-mereka yang ingin mengaburkan prinsip fundamental NU.[6]
Di
samping lagi, sejarah pergerakan Islam di Indonesia telah bulat menyimpulkan,
bahwa prinsip ajaran, pandangan, dan paham-paham penting dalam keyakinan Syiah
memiliki banyak sekali perbedaan dengan NU yang memang menganut paham Ahlussunnah
Waljamaah, bahkan saling bertolak belakang. Tak jarang, ormas Islam ini bersama
lembaga-lembaga lain (baik lembaga sipil maupun otonom pemerintah) tergabung
dalam persatuan “Ukhuwah-Islamiyah” dengan serentak menyuarakan “ajaran
Syiah sesat”, tanpa harus merasa minder apalagi malu sebab lebih mementingkan prinsip
agama daripada menghargai toleransi sesama.[7]
Maka,
jebolnya sebagian pertahanan NU dari penyusupan Syiah tidak boleh dianggap
remeh, melihat beberapa faktor yang melatarbelakanginya sangatlah beragam. Bisa
saja ia disebabkan krisis akut yang sedang mendera sejumlah tokoh NU hingga
timbullah “miss komunikasi” antar sesama saudara, yang sebenarnya tak baik didiamkan
begitu saja.[8]
Atau memang ada beberapa oknum NU yang nafsunya sudah condong melenceng, lebih
senang mengambil jalan alternatif dengan memperkaya diri dan terlena oleh aliran
dana yang melimpah ruah dari pusat Iran sana, bak menari-nari di atas
kesengsaraan saudara sendiri yang seiman.[9]
Nah,
untuk yang terakhir itu pantasnya dijuluki “sang Oportunis sejati” kesiangan, sebab
ia berani berjuang mati-matian mempertaruhkan kredibilitasnya sendiri demi Syiah
dan aliran dananya semata. Tanpa mau menoleh sedikitpun pada pandangan dan
ajaran fundamental NU yang sejak dulu telah digariskan secara sempurna oleh
sang pendirinya, Hadratusy-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari -radhiyallâhu ‘anhu.
Solusi
terakhir, jika tetap tidak memungkinkan, sudah saatnya kita untuk tidak selalu
percaya pada omongan-omongan tak benar dan kontroversial seorang oknum yang
mengaku-ngaku sebagai bagian dari “orang-orang NU” itu, meski sebenarnya ia
adalah tokoh teras atas dan sangat disegani di kalangan orang-orang NU.[]
*Penulis adalah Staf Redaksi Majalah Ijtihad Pondok Pesantren Sidogiri
[1] Hari Kamis (29/12/2011), sekitar pukul
09.30 WIB, terjadi pembakaran terhadap sebuah Langgher (semacam Musala),
Madrasah, dan 3 rumah komunitas Syiah di Dusun Nangkrenang, Desa Karanggayam, Kecamatan
Omben, Kabupaten Sampang, Madura. Beberapa catatan yang perlu di ketahui menyangkut
peristiwa SARA tersebut. Pertama, di Tempat Kejadian Perkara (TKP)
sebenarnya tidak pernah berdiri sebuah pesantren, apalagi yang berinisial “Pesantren
Syiah”, sebagaimana kabar yang tersebar luas di berbagai media massa. Hal ini
diakui sendiri oleh Bupati Sampang, H. Noer Cahya, selasa (14/2/2012). Kedua,
komunitas Syiah di sana telah bersikap profokatif pada warga sekitar, mereka
(Syiah) sejak lama melancarkan propaganda Syiah-nya via door to door, sehingga
meresahkan banyak masyarakat. Sebagaimana pengakuan Juhaidi (45), seorang warga
di sekitar TKP, kepada voa-islam.com, Kamis (29/12/2011). Ketiga, keganjilan mengenai nama Pondok
Pesantren “Misbahul Huda” (inisial pondok Syiah tersebut) yang ternyata muncul
setelah terjadinya peristiwa amuk masa. Sumber: Hidayatullah.com, selasa (21/2/2012).
[2] Sebagaimana pengakuan resmi yang
disampaikan Prof. DR. Said Agil Siradj (sekarang menjabat sebag Rais ‘Aam
PBNU) yang dikutip oleh Tempo, Jumat (27/1/2012). Padahal Hadratusy-Syaikh KH.
Hasyim Asy’ari t dalam sebuah tulisannya juga menegaskan, mengutip
keterangan Sayyid Muhammad dalam kitab Syarhil-Qâmus, bahwa ada
sebagian kaum Rafidhah (sebutan untuk sekte Syiah secara umum) yang bahkan
sampai pada tingkatan “Kafir” dan “Zindiq”. (lihat dalam karya beliau: “Risalatu
Ahlissunnah wal-Jamaah ”, [hal. 9-10]). Beikut tampilan teks Aslinya:
ومنهم رافضيون يسبون سيدناابوبكر وعمر رضي الله عنهما ويكرهون الصحابه
رضي الله عنهم. وبالغون هوى سيدناعلي واهل بيته رضوان الله عليهم اجمعين. قال السيد
محمد في شرح القاموس: وبعضهم يرتقي الى الكفر والزندقه. اعاذناالله والمسلمين منها.
[3] Dalam salah satu acara Asyura yang
diadakan oleh komunitas Syiah di Surabaya, DR. Said Agil Siradj, di depan
peserta jamaah Syiah yang hadir, dengan tanpa sungkan memanjatkan doa yang mendiskreditkan
kalangan NU. Mengatakan orang-orang NU sebagai “humqak”, maksudnya;
orang-orang bodoh yang tidak mengerti akan kebenaran. (disunting dari
dokumentasi Copy VCD acara “Asyura Syiah” di Surabaya, tertanggal Bulan Maret
2004).
[4] DR. Said Agil pernah menjadi
pembicara tingkat internasional di Teheran (pusat Syiah Rafidhah yang masih
aktif) sebanyak dua kali. Pertama, pada tahun 1999 dengan materi yang dibacakan
bertema: “Al-Taqrîb bainal-Madzâhib, Al-Islam al-din al-tasamuh”
(Pendekatan antara mazhab-mazhab, Islam adalah agama toleransi). Kedua, tahun
2000 dengan tema materi: “Al-Taqrîb bainal-Madzâhib, Huquq al-Insan fi
al-Islam” (Pendekatan antara mazhab-mazhab, Hak-hak manusia dalam Islam). Lebih
lanjut silahkan lihat di situs:http://nubinong.blogspot.com/2010/03/riwayat-hidup-prof-dr-kh-said-aqiel.html.
[5] DR. Said Agil membuat MoU dengan
Universitas al-Musthafa al-‘Alamiyah, Qom, Iran. Didampingi oleh Muhammad Zain (ketua
Jam’iyatul Qurra’ wal-Huffadz PBNU) dan Ahmad Mubarak (aktivis dari Partai
Demokrat). Tertanggal 27 Oktober 2011, surat kesepakatan tersebut ditulis dalam
dua bahasa sekaligus, Persia dan Indonesia. Alhamdulillah, surat
kesepakatan MoU itu berhasil dibatalkan oleh Dewan Syuriah PBNU pada bulan Desember
2011 lalu. Kabar ini disampaikan oleh HM. Cholil Nafis, Wakil Ketua Bahtsul
Masail PBNU, Sabtu pagi (11/02/2012) kepada: www.hidayatullah.com. Meski DR.
Said Agil sempat membantah, namun saat ditunjuk oleh media massa berserta bukti
konkret surat salinan transaksi yang hendak dilakoninya, iapun tak mampu
mengelak lagi.
[6] Prinsip paham dan pemikiran dari corak
ajaran Hadratusy-Syeikh KH. Hasyim Asy’ari t tentang NU, bisa Anda kupas dalam dua karya beliau, “Risalatu
Ahlissunnah wal-Jamaah ” dan “Risalah fi
Ta’akkudil-Akhdzi bil-Madzahib Al-Arba’ah”.
[7] Dan inilah beberapa butir UU dan
inisiatif pelarangan beredarnya Syiah oleh beberapa ormas Islam Indonesia. 1. Pengurus
PBNU mengeluarkan surat resmi No.724/A.II.03/101997, tertanggal 14 Oktober
1997, yang ditandatangani oleh Rais Am KH.M Ilyas Ruchiyat dan Katib KH.M. Drs.
Dawam Anwar, mengingatkan kepada bangsa Indonesia agar tidak terkecoh oleh
propaganda Syiah dan perlunya umat Islam Indonesia mengetahui perbedaan prinsip
Syiah dengan ajaran Islam. 2. Rakernas MUI pada bulan Jumadil Akhir 1404 H/7
Maret 1984 M di Jakarta, merekomendasikan bahwa umat Islam Indonesia perlu
waspada dengan menyusupnya paham Syiah, dan perbedaan pokok Syiah dengan ajaran
Ahlussunnah Wal-Jamaah. 3. Kementerian Agama RI mengeluarkan surat edaran nomor
D/BA.01/4865/1983, tertanggal 5 Desember 1983, tentang ihwal kelompok Syiah,
menyatakan bahwa Syiah sudah tidak sesuai bahkan bertentang dengan ajaran
Islam.
[8] Hasil wawancara redaksi IJTIHAD
kepada KH. Muhyiddin Abdusshamad (Dewan Syuriah NU Jember) yang menyatakan,
jika benar-benar ada penyusupan dalam tubuh NU, maka faktor utamanya mungkin
dari Pengurus NU pusat yang kurang kontrol pada perangkat bawahannya sehingga
timbul “miss-komunikasi” antara atasan dan bawahan sesama prngurus NU, bukan lantas
ormas NU-nya yang harus disalahkan.
[9] Tulisan lebih lanjut mengenai aliran
dana Syiah dari pusat Negara Iran ke dalam tubuh NU melalui beberapa lembaga
atau oknum tak bertanggung jawab. Bisa Anda baca dalam tulisan saudara M.
Sholeh di artikel berikutnya.
Tokoh NU sekarang sangat membenci Muhammadiyah dan sangat intim dengan non muslim seperti Kristen, Katolik, Buda, Hindu dan syiah.
ReplyDelete