Ironinya, shopping
menu relativisme banyak diminati oleh para insan akademisi di sejumlah
perguruan tinggi. Sehingga, seolah-olah tidak boleh tidak: siapa saja yang
memasuki dunia perkuliahan, wajib hukumnya melahap doktrin relativisme.
Padahal,
mahasiswa nantinya diharapkan menempati pos-pos kepemimpinan di Indonesia.
Sungguh sesuatu yang tidak kita inginkan jika nahkoda yang mengomandoi dan
mengawal sebuah kapal yang bernama Bangsa Indonesia ini, adalah mereka yang memandang
korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai kelumrahan.
Oleh karena
itu, saya tergugah secara moral dan intelektual untuk “menjinakkan” doktrin
yang sudah kadung mengakar di lingkungan perguruan tinggi ini, dengan cara mencatut
gagasan relatifistik Hanputro Widyono (selanjutnya disebut Hanputro) dalam
Mimbar Mahasiswa tentang keberagama(a)n Tafsir (Solopos, 23/6/15), sebagai
objek analisis saya. Diharapkan nantinya kita mendapatkan percik pemikiran,
bahwa relativisme tiada lain, kecuali sebuah doktrin yang sebetulnya absurd dan
kerap memunculkan sikap-sikap paradoksial.
Hanputro
membahas tentang tafsir yang relatif-tentatif (Bahasan yang sebetulnya lumrah
didapati dalam lembaran-lembaran mahasiswa: tidak out of the box).
Melalui ungkapannya, “ketika tafsir telah menjadi sebuah kemutlakan”, dia
sedang berupaya membungkam pendapat orang lain yang ia nilai relatif, dan
melalui “Disfungsi agama juga akan hadir ketika keyakinan kemutlakan terhadap
agama telah mengharuskan untuk menafikan kebenaran agama lain”, dia sedang
berupaya memutlakkan pendapatnya: bahwa gagasan prinsipal yang mutlak benar
menurutnya ialah: ‘agama yang kita anut belum tentu benar’. Pendeknya, dia
sebagai relativis, rupanya memutlakkan pendapatnya sendiri, dan merelatifkan
pendapat liyan yang berseberangan dengan pendapatnya.
Entah, apakah
Hanputro menyadari sikap paradoksialnya ini atau tidak. Yang dapat kita ketahui
kemudian ialah, dia menutupi ketidaknetralannya dengan pernyataan yang (seolah)
netral: “Ada Allah bagi umat Islam, ada Yesus bagi umat kristiani, ada Dewa
bagi umat Hindu dan Buddha”.
Selain itu, dia
mengemukakan bahwa penafsiran manusia atas bahasa yang terwujud dalam kata-kata,
itu beragam. Karenanya, “Perbedaan pendapat antarmanusia tidak dapat
dinafikan”. Ya, saya setuju. Hanputro benar sekali, tersebab perbedaan adalah
fitrah.
Akan tetapi, ini
tidak berarti bahwa jika terdapat kekeliruan tafsir atas suatu kata, kita
lantas diam alias sukut dan menganggapnya tidak keluar dari kode etik
penafsiran. Kata merupakan kulit yang mengarah ke luar, sedangkan isinya adalah
kulit yang mengarah ke dalam, yang dalam hal ini adalah makna atau gagasannya.
Kulit yang mengarah ke luar ini berfungsi sebagai jembatan bagi penafsir untuk
menggapai makna atau gagasan terdalam dari kata tersebut. Kendatipun ada
kata-kata yang memungkinkan (bahkan mengharuskan) untuk dimaknai dengan makna
metaforisnya, bukan makna hakikinya, tidak berarti kita membiarkan kata-kata
bebas sama sekali untuk diinterpretasikan sekehendak subjektivitas penafsir.
Meng-gebyah-uyah
bahwa interpretasi atas semua kata itu bersifat nisbi merupakan sikap kurang
perhitungan. Kenyataannya, ada penafsiran terhadap kata yang memunculkan makna
yang absolutely benar, dan ada penafsiran terhadap kata yang menelurkan
makna yang relatively benar atau salah. Yang pertama mengingatkan saya
pada ungkapan Dr. Badawi Tabanah, “Anna ikhtilafa mukhtalifina fil-haqqi la
yujibu ikhtilafal-haqqi fi nafsihi”, bahwa beragam pendapat antar kalangan
terhadap sesuatu yang hakiki, tidak meniscayakan esensi dari yang hakiki ini
menjadi beragam pula. Sedangkan yang kedua mengingatkan saya pada sebuah buku
berjudul Rahmatul-Ummah fi Ikhtilafil-A’immah, dikarang oleh Abu
Abdillah Muhammad bin Abdurrahman ad-Damasyqi, yang secara spesifik menjabarkan
pendapat-pendapat antar para yuris Islam yang berbeda-beda dalam berbagai
persoalan keagamaan.
Barangkali
pembaca menebak-nebak, bahwa saya adalah orang yang acapkali main
mutlak-mutlakan, tidak menerima pendapat orang lain, dan memiliki pandangan
yang eksklusif. Sebetulnya, saya tidak demikian. Saya tetap berprinsip bahwa,
secara intelektual, kita boleh bertentangan, namun secara sosial, kita mesti
bergandeng tangan. Selain itu, setiap manusia selagi masih hidup di
dunia ini, tidak akan mungkin absen dari suatu ideologi yang diyakini
kebenarannya secara mutlak; setiap manusia memiliki standar masing-masing dalam–meminjam
istilah yang diungkapkan oleh Dr. Syamsuddin Arif–memilah (tafriq),
memilih (ikhtiyar), dan membedakan (tamyiz) yang baik dan buruk,
termasuk saya dan Hanputro, dengan catatan tidak sampai tercerabut dari akar
idealitas moral, budaya, norma yang mengakar di masyarakat selama ini.
Gagasan relativistik
Hanputro di atas, yang kemudian saya analisis, adalah satu di antara banyak
bukti bahwa relativisme bukanlah suatu paradigma netralistik sebagaimana yang
kita kira sebelumnya, melainkan paradigma yang ternyata menyisakan unsur
absolutisme yang subjektif, dan unsur relativistik yang tanggung alias
setengah-setengah. Karenanya, untuk menerima pendapat orang, menoleransi
penganut agama lain secara sosial, hidup rukun, damai, dan tentram dalam
berbangsa, beragama, dan bernegara, tidak harus menjadi seorang relativis,
tetapi bukan berarti tidak ada pilihan lain kecuali menjadi absolutis yang
kerap main mutlak-mutlakan. Bersikap moderat merupakan pilihan yang bijak,
dalam rangka menengah-nengahi dua kutub yang ekstrem. Bersikap moderat membuat kita
sadar bahwa, seisi dunia ini ada yang kebenarannya bersifat relatif dan ada pula
yang kebenarannya bersifat absolut, bahkan yang berasal dari pemikiran manusia
fana sekalipun.
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar! '-'