Sunday 20 March 2016

Absurditas dan Paradoks Relativisme

Indonesia yang hingga saat ini diguncang oleh kemelut hukum, dagelan politik para elit yang–meminjam bahasa Soekarno–“merasa dipangku oleh ibu pertiwi”, pencitraan-pencitraan, dan beragam ketidakadilan dan penyelewengan lainnya, tidak lepas dari kiprah manhaj relativisme yang meniscayakan yang positif dan yang negatif, yang baik dan buruk, menjadi blur dan kabur, karena “segala hal dipandang sebagai kebenaran yang belum tentu benar, dan kesalahan yang belum tentu salah”.
Ironinya, shopping menu relativisme banyak diminati oleh para insan akademisi di sejumlah perguruan tinggi. Sehingga, seolah-olah tidak boleh tidak: siapa saja yang memasuki dunia perkuliahan, wajib hukumnya melahap doktrin relativisme.
Padahal, mahasiswa nantinya diharapkan menempati pos-pos kepemimpinan di Indonesia. Sungguh sesuatu yang tidak kita inginkan jika nahkoda yang mengomandoi dan mengawal sebuah kapal yang bernama Bangsa Indonesia ini, adalah mereka yang memandang korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai kelumrahan.
Oleh karena itu, saya tergugah secara moral dan intelektual untuk “menjinakkan” doktrin yang sudah kadung mengakar di lingkungan perguruan tinggi ini, dengan cara mencatut gagasan relatifistik Hanputro Widyono (selanjutnya disebut Hanputro) dalam Mimbar Mahasiswa tentang keberagama(a)n Tafsir (Solopos, 23/6/15), sebagai objek analisis saya. Diharapkan nantinya kita mendapatkan percik pemikiran, bahwa relativisme tiada lain, kecuali sebuah doktrin yang sebetulnya absurd dan kerap memunculkan sikap-sikap paradoksial.
Hanputro membahas tentang tafsir yang relatif-tentatif (Bahasan yang sebetulnya lumrah didapati dalam lembaran-lembaran mahasiswa: tidak out of the box). Melalui ungkapannya, “ketika tafsir telah menjadi sebuah kemutlakan”, dia sedang berupaya membungkam pendapat orang lain yang ia nilai relatif, dan melalui “Disfungsi agama juga akan hadir ketika keyakinan kemutlakan terhadap agama telah mengharuskan untuk menafikan kebenaran agama lain”, dia sedang berupaya memutlakkan pendapatnya: bahwa gagasan prinsipal yang mutlak benar menurutnya ialah: ‘agama yang kita anut belum tentu benar’. Pendeknya, dia sebagai relativis, rupanya memutlakkan pendapatnya sendiri, dan merelatifkan pendapat liyan yang berseberangan dengan pendapatnya.
Entah, apakah Hanputro menyadari sikap paradoksialnya ini atau tidak. Yang dapat kita ketahui kemudian ialah, dia menutupi ketidaknetralannya dengan pernyataan yang (seolah) netral: “Ada Allah bagi umat Islam, ada Yesus bagi umat kristiani, ada Dewa bagi umat Hindu dan Buddha”.
Selain itu, dia mengemukakan bahwa penafsiran manusia atas bahasa yang terwujud dalam kata-kata, itu beragam. Karenanya, “Perbedaan pendapat antarmanusia tidak dapat dinafikan”. Ya, saya setuju. Hanputro benar sekali, tersebab perbedaan adalah fitrah.
Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa jika terdapat kekeliruan tafsir atas suatu kata, kita lantas diam alias sukut dan menganggapnya tidak keluar dari kode etik penafsiran. Kata merupakan kulit yang mengarah ke luar, sedangkan isinya adalah kulit yang mengarah ke dalam, yang dalam hal ini adalah makna atau gagasannya. Kulit yang mengarah ke luar ini berfungsi sebagai jembatan bagi penafsir untuk menggapai makna atau gagasan terdalam dari kata tersebut. Kendatipun ada kata-kata yang memungkinkan (bahkan mengharuskan) untuk dimaknai dengan makna metaforisnya, bukan makna hakikinya, tidak berarti kita membiarkan kata-kata bebas sama sekali untuk diinterpretasikan sekehendak subjektivitas penafsir.
Meng-gebyah-uyah bahwa interpretasi atas semua kata itu bersifat nisbi merupakan sikap kurang perhitungan. Kenyataannya, ada penafsiran terhadap kata yang memunculkan makna yang absolutely benar, dan ada penafsiran terhadap kata yang menelurkan makna yang relatively benar atau salah. Yang pertama mengingatkan saya pada ungkapan Dr. Badawi Tabanah, “Anna ikhtilafa mukhtalifina fil-haqqi la yujibu ikhtilafal-haqqi fi nafsihi”, bahwa beragam pendapat antar kalangan terhadap sesuatu yang hakiki, tidak meniscayakan esensi dari yang hakiki ini menjadi beragam pula. Sedangkan yang kedua mengingatkan saya pada sebuah buku berjudul Rahmatul-Ummah fi Ikhtilafil-A’immah, dikarang oleh Abu Abdillah Muhammad bin Abdurrahman ad-Damasyqi, yang secara spesifik menjabarkan pendapat-pendapat antar para yuris Islam yang berbeda-beda dalam berbagai persoalan keagamaan.
Barangkali pembaca menebak-nebak, bahwa saya adalah orang yang acapkali main mutlak-mutlakan, tidak menerima pendapat orang lain, dan memiliki pandangan yang eksklusif. Sebetulnya, saya tidak demikian. Saya tetap berprinsip bahwa, secara intelektual, kita boleh bertentangan, namun secara sosial, kita mesti bergandeng tangan. Selain itu, setiap manusia selagi masih hidup di dunia ini, tidak akan mungkin absen dari suatu ideologi yang diyakini kebenarannya secara mutlak; setiap manusia memiliki standar masing-masing dalam–meminjam istilah yang diungkapkan oleh Dr. Syamsuddin Arif–memilah (tafriq), memilih (ikhtiyar), dan membedakan (tamyiz) yang baik dan buruk, termasuk saya dan Hanputro, dengan catatan tidak sampai tercerabut dari akar idealitas moral, budaya, norma yang mengakar di masyarakat selama ini.
Gagasan relativistik Hanputro di atas, yang kemudian saya analisis, adalah satu di antara banyak bukti bahwa relativisme bukanlah suatu paradigma netralistik sebagaimana yang kita kira sebelumnya, melainkan paradigma yang ternyata menyisakan unsur absolutisme yang subjektif, dan unsur relativistik yang tanggung alias setengah-setengah. Karenanya, untuk menerima pendapat orang, menoleransi penganut agama lain secara sosial, hidup rukun, damai, dan tentram dalam berbangsa, beragama, dan bernegara, tidak harus menjadi seorang relativis, tetapi bukan berarti tidak ada pilihan lain kecuali menjadi absolutis yang kerap main mutlak-mutlakan. Bersikap moderat merupakan pilihan yang bijak, dalam rangka menengah-nengahi dua kutub yang ekstrem. Bersikap moderat membuat kita sadar bahwa, seisi dunia ini ada yang kebenarannya bersifat relatif dan ada pula yang kebenarannya bersifat absolut, bahkan yang berasal dari pemikiran manusia fana sekalipun.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar! '-'