Thursday 1 November 2012

Liberal Positif Gejala KanKer

Ketertarikan orang-orang terhadap shopping menu ateisme di Indonesia pada jamannya Mukti Ali dan Cak Nur berbeda dengan masanya Bung Ulil dan Mas Bimo. Dulu, mereka masih memperoleh jatah mulus untuk mensosialisasikan metode menjadi murtad itu. Tulisan dan petuah ulama dan tokoh tidak tersebar luas seperti sekarang. Apalagi fulus dari barat juga masih cair. Itu dulu.
Sekarang, jangan coba-coba untuk menyebarkan pemikiran nyeleneh.
Mau bikin seminar ilmiah? Buat buku? Beasiswa gratis? “Fulus kering”. Kecele. Isu itu memang telah menjadi perbincangan hangat bahwa JIL belum mati, tapi sekarat.
Kondisi sekarat tidak lantas membikin Bung Ulil,  Si Goen, dan teman-teman mereka pensiun menjadi budaknya Barat. Banyak media yang menyoroti bahwa mereka sekarang menjadi penyanyi orkes; minta saweran. Dulu mereka mendapat dana dari sumber-sumber domestik Eropa dan yang paling besar adalah (TAF) The Asian Foundation. Tapi sekarang, mereka memperoleh dana dari voluntary (sumbangan sukarela).
Kolom Donasi yang ada di situs resmi mereka merupakan salah satu bukti bahwa JIL saat ini mengalami money crisis. Coba buka www.islamlib.com, maka kita akan mendapatinya berbeda; dipampang sebuah kolom donasi di situs resmi tersebut, dan ada sebuah kalimat nesu; Kami menerima sumbangan untuk membantu pendanaan kegiatan-kegiatan JIL.
Bukti lain ialah bom di Jl. Utan Kayu; trik untuk memperoleh fulus. Bom yang meledak di markas JIL itu adalah rekayasa mereka sendiri agar hujan dana asing kembali mengguyur mereka seperti dulu. Akhirnya, pucuk dicinta ulam pun tiba, mereka menengadahkan tangan menerima dana asing, meskipun harus ada korban yang berjatuhan. Takjauh berbeda dengan taktik zionis. Terlepas dari benar tidaknya kabar tentang latar belakang pengeboman ini, yang jelas isu tentang gejala KanKer (Kantong Kering) yang mereka idap sudah menjadi rahasia umum, bahkan mereka yang mengungkapnya sendiri secara terang-terangan.
Kemiskinan tentunya mendorong mereka untuk meminta-minta, menggalakkan sumbangan dana domestik kecil-kecilan demi terlaksananya serangkaian kegiatan propaganda. Ada fulus, propaganda jalan terus.
Ah, takada kata capek bagi mereka. Para pelopor, senior, dan penerus perjuangan penafian Tuhan ini telah dan akan terus berusaha, membikin kebohongan-kebohongan untuk meruntuhkan pondasi Islam yang mapan hingga mereka capek sendiri. Mereka tidak hanya ingin orang-orang menjadi syariat-phobia, tetapi islamophobia [without God]. Mereka memeras keringat dan banting tulang bikin buku, menulis di media massa, memberi beasiswa gratis, dan membisiki kalangan awam untuk menjadi muslim yang bukan muslim, mukmin yang takmukmin, melaksanakan salat tapi mengingkari salat, memuji Tuhan tapi menghina Tuhan, membaca al-Quran tapi mencibir al-Quran, membaca shalawat tapi mencemooh Nabi Muhammad r, dan sebagainya dan seterusnya. Sebuah ambiguitas yang membikin bingung orang-orang berakal sehat.
Tapi–sekali lagi–jamannya Cak Nur taksama dengan masanya Bung Ulil. Nafas liberalisme sekarang pengap-pengap. Ibarat orang yang terus berlari, mengeluarkan tenaga dan stamina dengan sandang pangan yang taklagi mencukupi, lama-lama mampus juga. Silakan buat propaganda, bikin buku, atau apapun itu. Terserah. Gaungmu tak seperti dulu lagi!
Share:

0 comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar! '-'