Ketertarikan orang-orang terhadap shopping
menu ateisme di Indonesia pada jamannya Mukti Ali dan Cak Nur berbeda dengan
masanya Bung Ulil dan Mas Bimo. Dulu, mereka masih memperoleh jatah mulus untuk
mensosialisasikan metode menjadi murtad itu. Tulisan dan petuah ulama dan tokoh
tidak tersebar luas seperti sekarang. Apalagi fulus dari barat juga masih cair. Itu dulu.
Sekarang, jangan coba-coba untuk
menyebarkan pemikiran nyeleneh.
Mau bikin seminar ilmiah? Buat buku? Beasiswa
gratis? “Fulus kering”. Kecele. Isu
itu memang telah menjadi perbincangan hangat bahwa JIL belum mati, tapi
sekarat.
Kondisi sekarat tidak lantas membikin
Bung Ulil, Si Goen, dan teman-teman
mereka pensiun menjadi budaknya Barat. Banyak media yang menyoroti bahwa mereka sekarang menjadi penyanyi orkes; minta
saweran. Dulu mereka mendapat dana dari sumber-sumber domestik Eropa dan yang
paling besar adalah (TAF) The Asian Foundation. Tapi sekarang, mereka memperoleh
dana dari voluntary (sumbangan
sukarela).
Kolom Donasi yang ada di situs resmi
mereka merupakan salah satu bukti bahwa JIL saat ini mengalami money crisis. Coba buka www.islamlib.com,
maka kita akan mendapatinya berbeda; dipampang sebuah kolom donasi di situs
resmi tersebut, dan ada sebuah kalimat nesu; Kami menerima sumbangan untuk
membantu pendanaan kegiatan-kegiatan JIL.
Bukti lain ialah bom di Jl. Utan Kayu;
trik untuk memperoleh fulus. Bom yang
meledak di markas JIL itu adalah rekayasa mereka sendiri agar hujan dana asing kembali
mengguyur mereka seperti dulu. Akhirnya, pucuk dicinta ulam pun tiba, mereka
menengadahkan tangan menerima dana asing, meskipun harus ada korban yang
berjatuhan. Takjauh berbeda dengan taktik zionis. Terlepas dari benar tidaknya
kabar tentang latar belakang pengeboman ini, yang jelas isu tentang gejala
KanKer (Kantong Kering) yang mereka idap sudah menjadi rahasia umum, bahkan
mereka yang mengungkapnya sendiri secara terang-terangan.
Kemiskinan tentunya mendorong mereka
untuk meminta-minta, menggalakkan sumbangan dana domestik kecil-kecilan demi
terlaksananya serangkaian kegiatan propaganda. Ada fulus, propaganda jalan terus.
Ah,
takada kata capek bagi mereka. Para pelopor, senior, dan penerus perjuangan
penafian Tuhan ini telah dan akan terus berusaha, membikin
kebohongan-kebohongan untuk meruntuhkan pondasi Islam yang mapan hingga mereka
capek sendiri. Mereka tidak hanya ingin orang-orang menjadi syariat-phobia,
tetapi islamophobia [without God].
Mereka memeras keringat dan banting tulang bikin buku, menulis di media massa,
memberi beasiswa gratis, dan membisiki kalangan awam untuk menjadi muslim yang
bukan muslim, mukmin yang takmukmin, melaksanakan salat tapi mengingkari salat,
memuji Tuhan tapi menghina Tuhan, membaca al-Quran tapi mencibir al-Quran,
membaca shalawat tapi mencemooh Nabi Muhammad r,
dan sebagainya dan seterusnya. Sebuah ambiguitas yang membikin bingung
orang-orang berakal sehat.
Tapi–sekali lagi–jamannya Cak Nur
taksama dengan masanya Bung Ulil. Nafas liberalisme sekarang pengap-pengap. Ibarat
orang yang terus berlari, mengeluarkan tenaga dan stamina dengan sandang pangan
yang taklagi mencukupi, lama-lama mampus juga. Silakan buat propaganda, bikin buku, atau apapun itu. Terserah. Gaungmu
tak seperti dulu lagi!
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar! '-'