Saturday 17 November 2012

Maha Esa; Mahakuasa

Keajaiban adalah nyata. Keajaiban bukanlah magis yang mustahil. Semesta ini berjalan berdasarkan waktu, berurutan, mengalir, satu demi satu peristiwa terjadi; takada beda antara yang biasa dan yang luar biasa; semuanya adalah peristiwa. Bahkan bisa dikatakan bahwa keajaiban atau keluarbiasaan adalah “peristiwa biasa”. Imajinasi saja jauh lebih ajaib dari hal-hal yang kita anggap ajaib!
Marilah kita kembali ke masa lalu, suatu masa ketika kita masih kecil. Saat itu, kita melihat dunia ini dengan begitu takjub dan heran; semuanya serba ajaib. Hidup sungguh menggembirakan. Kita melihat rumput-rumput berwarna hijau dipenuhi embun-embun pagi. Langit sebagai atap bumi berwarna biru muda, sangat memukau dipandang mata.  Kupu-kupu indah beterbangan di udara menghiasi suasana sepi. Apalagi jika mendapati senyuman seorang wanita yang kasihnya takpilih kasih, Ibu, jiwa kita semakin sejuk. Pelukan kasihnya mengalahkan pelukan hasrat bidadari surga.
Ketika kecil, kita berimajinasi, membayangkan seekor kuda terbang dengan kedua sayapnya, mainan-mainan seolah hidup, bintang-bintang terang di malam hari dengan mudah bisa kita jamah. Inilah imajinasi yang takmengenal batas (unlimited). Imajinasi yang takterpaku oleh realitas dan imposibilitas. Dalam sedetik saja, kita telah berada di sebuah tempat yang jauhnya beribu-ribu kilo, bahkan tanpa sengaja kita telah bertengger di bulan sebagaimana Neil Armstrong dengan pesawat F 11-nya. Ajaib, bukan?
Tetapi, ketika tumbuh dewasa, kita semakin bingung dan susah. Masalah, tanggung jawab, kesulitan, satu persatu datang silih berganti. Seakan-akan kita kecewa karena keajaiban yang dulu kita imajinasikan memudar dan menghilang. Kita merasa kecele dengan semua itu.
Indahnya masa kecil adalah harga mati. Ia takbisa dibeli dengan segunung emas, apalagi masih mau ditawar. Bahkan jika Anda mempunyai emas sebesar bumi, masa kecil tidak untuk dijual (not for sale). Maka, takada lorong waktu, takada tesis-tesis kalangan akademisi untuk kembali ke masa kecil. Melamun untuk kembali ke masa kecil hanya akan dicemooh dan ditertawai. Biasanya orang akan mengutip firman Ilahi, “Wal-‘ashri”.
Tetapi, jangan khawatir, meski kita takbisa membeli keindahan masa kecil, kita masih bisa berimajinasi seperti saat kita kecil dulu. Jika ketika kecil kita berimajinasi tentang kuda terbang, maka sekarang kita berimajinasi tentang kesuksesan dan keberhasilan.
Konon ada seorang santri yang berimajinasi, dia ingin menjadi seperti Imam al-Ghazali. Tetapi, dia berpikir bahwa ini adalah imajinasi fatamorgana yang konyol. “Bukankah sebaiknya aku membuat imajinasi realistis saja. Mana mungkin di jaman ini ada seseorang seperti Imam al-Ghazali; ngimpi!”, cetusnya dalam hati. Kemudian, santri tersebut menjelaskan tentang imajinasi yang menurutnya mustahil itu kepada seorang tokoh kharismatik yang tak lain adalah gurunya. Mendengar penjelasan santrinya itu, kontan saja tokoh tersebut langsung menjawab, “Apanya yang mustahil? Allah itu Mahakuasa. Bukankah Tuhan kamu dan Tuhannya Imam al-Ghazali itu sama?!”.[]
Selesai ditulis oleh Ahmad Fauzan al-Farisi pada 1-Muharram-1433 H.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar! '-'