Keajaiban
adalah nyata. Keajaiban bukanlah magis yang mustahil. Semesta ini berjalan
berdasarkan waktu, berurutan, mengalir, satu demi satu peristiwa terjadi; takada
beda antara yang biasa dan yang luar biasa; semuanya adalah peristiwa. Bahkan bisa dikatakan
bahwa keajaiban atau keluarbiasaan adalah “peristiwa biasa”. Imajinasi saja jauh
lebih ajaib dari hal-hal yang kita anggap ajaib!
Marilah
kita kembali ke masa lalu, suatu masa ketika kita masih kecil. Saat itu, kita
melihat dunia ini dengan begitu takjub dan heran; semuanya serba ajaib. Hidup
sungguh menggembirakan. Kita melihat rumput-rumput berwarna hijau dipenuhi
embun-embun pagi. Langit sebagai atap bumi berwarna biru muda, sangat memukau
dipandang mata. Kupu-kupu indah
beterbangan di udara menghiasi suasana sepi. Apalagi jika mendapati senyuman
seorang wanita yang kasihnya takpilih kasih, Ibu, jiwa kita semakin sejuk. Pelukan
kasihnya mengalahkan pelukan hasrat bidadari surga.
Ketika
kecil, kita berimajinasi, membayangkan seekor kuda terbang dengan kedua
sayapnya, mainan-mainan seolah hidup, bintang-bintang terang di malam hari dengan
mudah bisa kita jamah. Inilah imajinasi yang takmengenal batas (unlimited). Imajinasi yang takterpaku
oleh realitas dan imposibilitas. Dalam sedetik saja, kita telah berada di
sebuah tempat yang jauhnya beribu-ribu kilo, bahkan tanpa sengaja kita telah
bertengger di bulan sebagaimana Neil Armstrong dengan pesawat F 11-nya. Ajaib,
bukan?
Tetapi,
ketika tumbuh dewasa, kita semakin bingung dan susah. Masalah, tanggung jawab,
kesulitan, satu persatu datang silih berganti. Seakan-akan kita kecewa karena
keajaiban yang dulu kita imajinasikan memudar dan menghilang. Kita merasa kecele dengan semua itu.
Indahnya
masa kecil adalah harga mati. Ia takbisa dibeli dengan segunung emas, apalagi
masih mau ditawar. Bahkan jika Anda mempunyai emas sebesar bumi, masa kecil
tidak untuk dijual (not for sale). Maka,
takada lorong waktu, takada tesis-tesis kalangan akademisi untuk kembali ke
masa kecil. Melamun untuk kembali ke masa kecil hanya akan dicemooh dan
ditertawai. Biasanya orang akan mengutip firman Ilahi, “Wal-‘ashri”.
Tetapi,
jangan khawatir, meski kita takbisa membeli keindahan masa kecil, kita masih
bisa berimajinasi seperti saat kita kecil dulu. Jika ketika kecil kita
berimajinasi tentang kuda terbang, maka sekarang kita berimajinasi tentang
kesuksesan dan keberhasilan.
Konon
ada seorang santri yang berimajinasi, dia ingin menjadi seperti Imam
al-Ghazali. Tetapi, dia berpikir bahwa ini adalah imajinasi fatamorgana yang
konyol. “Bukankah sebaiknya aku membuat imajinasi realistis saja. Mana mungkin
di jaman ini ada seseorang seperti Imam al-Ghazali; ngimpi!”, cetusnya dalam hati. Kemudian, santri tersebut menjelaskan
tentang imajinasi yang menurutnya mustahil itu kepada seorang tokoh kharismatik yang tak lain adalah
gurunya. Mendengar penjelasan santrinya itu, kontan saja tokoh tersebut langsung menjawab,
“Apanya yang mustahil? Allah itu Mahakuasa. Bukankah Tuhan kamu dan Tuhannya
Imam al-Ghazali itu sama?!”.[]
Selesai ditulis oleh Ahmad Fauzan
al-Farisi pada 1-Muharram-1433 H.
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar! '-'