Setidak-tidaknya
ada beberapa alasan mengapa saya berhenti menjadi karyawan di perusahan itu. Pertama,
karena job yang dibebankan pada saya di tempat kerja, monoton atau tidak
ada ragamnya. Saya pun bosan dan jemu. Kedua, karena waktu saya semakin padat:
pada pagi dan siang hari, saya bersekolah (baca: berkuliah), dan pada sore dan
malam hari saya mesti “bersekolah” lagi.
Ketiga,
ruh saya sulit untuk menyatu dengan ruh-ruh para kolega saya. Saya melihat
bahwa mereka akan “galau” jika tidak memperoleh penghasilan. Sedangkan saya
“galau” jika saya tidak memperoleh perkembangan intelektual; mereka pekerja,
sedangkan saya pelajar. Keempat, saya mengorbankan delapan jam, yang merupakan
tempo yang relatif lama dan amat berharga dalam sehari (24 jam), dengan sesuatu
yang tidak sebanding dengan apa yang saya peroleh, dalam hal ini ialah gaji,
bahkan kendatipun seandainya gaji yang saya terima lima kali
lipat. Kelima, aktivitas akademik saya tidak jarang terganggu dan
terbengkalai gara-gara profesi karyawan ini. Akibatnya, nilai dan IPK yang saya
peroleh pada akhir semester tidak sesuai harapan.
Oleh karena itu, urgen
untuk menemukan jalan keluar di tengah “kehausan” akan perolehan pendapatan dan
perkembangan intelektual. Jalan keluar tersebut ialah bisnis start up.
Bisnis berbau teknologi yang baru di bangun. Hal ini setidaknya karena beberapa
hal berikut.
Pertama,
mahasiswa dan teknologi tidak dapat dipisahkan. Semua mahasiswa pasti
mengoperasikan gadget dan komputer untuk memenuhi segala kebutuhan
mereka, baik kebutuhan akademik, kebutuhan finansial, kebutuhan sosial, dan
sebagainya. Kedua, bisnis start up bisa dibangun dengan modal
kecil, bahkan, menjadi dropshipper misalnya, justru bisa tanpa modal. Dengan
gadget, ia dapat memasarkan dan mempromosikan produknya.
Ketiga,
segmentasi pasar yang dekat dan mudah: di sela-sela ia berinteraksi dengan
teman-teman sejawat di kampus, ia bisa mencatut mereka sebagai konsumen utama.
Syukur jika ternyata ekspansi pasarnya meluas di luar kampus. Keempat,
kemungkinan untuk mengganggu waktu belajar dan waktu-waktu berharga lainnya,
relatif kecil–untuk tidak mengatakan tidak sama sekali. Kelima, siapa nyana,
dengan bisnis kecil yang ditekuni, suatu saat bisa berkembang dan maju.
Bukankah, kata Syafii Antonio melalui akun Twitternya, “Pencapaian besar
dimulai dari langkah yang kecil”?
Berdasarkan ihwal di atas, bisnis start up semakin menemukan space untuk
mahasiswa–sebagai penuntut ilmu–lakoni. Dia bisa meringankan beban orang tua.
Dia juga bisa memperoleh pengalaman bagaimana mengelola bisnis yang baik. Maka,
daripada berpendapatan tetapi mengganggu kuliah kita, mengapa tidak mencoba melakoni
bisnis start up saja?
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar! '-'