Mahasiswa adalah seorang thalibul-‘ilmi
(penuntut ilmu), di mana Imam al-Ghazali dalam Bidayatul-Hidayah-nya,
dan Imam az-Zarnuji dalam Ta’limul-Muta’allim-nya, telah mengemukakan
adab, tatakrama, anjuran, kewajiban, dan larangan bagi seorang thalibul-‘ilmi?
Pacaran jelas suatu keniscayaan yang mesti dijauhi. Bagaimana ilmu akan berkah
dan bermanfaat, jika selama menuntut ilmu dibersamai dengan pacaran? Dilema
memang. Di satu sisi, pacaran itu larangan agama, di sisi lain, menikah itu
butuh persiapan.
Akan tetapi, marilah kita tilik hadis riwayat
al-Bukhari yang populer. Syabab (pemuda) yang diseru oleh Nabi dalam
hadis itu ialah mereka yang berusia 16-32 tahun menurut Imam al-Qurthubi, 16-30
tahun menurut Imam an-Nawawi dan az-Zamakhsari, yang berarti mahasiswa
tercakupkan. Syabab yang ba’ah (mampu) dianjurkan atau diwajibkan
menikah, dan yang tidak ba’ah, hendaknya berpuasa, untuk mengekang
syahwat.
Jika dengan berpuasa syahwat masih belum juga
terkendali, daripada berpacaran, tidak perlu ragu untuk menikah. Persoalan
materi jangan sampai menghambat azam dan keinginan kuat seseorang untuk
melangsungkan pernikahan. Fauzil Adzim menyampaikan, meski belum mempunyai
kemampuan ekonomi yang memadai, orang-orang yang telah berbekal kesiapan
ruhiyah lebih siap bertanggung jawab atas keluarganya. Allah menjamin rizki
bagi mereka yang mau menikah (QS. An-Nur: 32).
Selain itu, Diana E Papalia dan Sally Wendkos
Olds mengemukakan, usia terbaik untuk menikah bagi perempuan ialah 19-25 tahun,
sedangkan bagi laki-laki ialah 20-25 tahun. Suryadi Az, dalam Sukses Menikah Sukses
Kuliah (2005) juga menyatakan bahwa, umur kuliah adalah masa produktif dan
subur.
Pada tataran selanjutnya, bagaimana jika sudah
menikah tetapi belum memungkinkan untuk berumah tangga, sedangkan menunda
pernikahan membuat hati tersiksa? Dengan konsep yang diangkat Fauzil Azhim, kita
bisa menikah semasa kuliah, kemudian berumah tangganya setelah lulus. Simpel,
bukan?
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar! '-'