PADA MULANYA
Kata ‘Radikal’ dan ‘Radikalisme’
Lembar-lembar sejarah
dan hari-hari kita belakangan ini, diramaikan oleh isu tentang radikalisasi
agama. Isu ini terus bergulir dan berbagai media mem-blow up-nya. Ide
dan sudut pandang yang berwarna-warni bermunculan. Publik pun disuguhi
“hidangan” yang berwarna-warni ini. Ada yang tepat sasaran dalam melahapnya,
dan ada pula yang keliru dalam mencaploknya.
Agar tidak keliru
dalam mencaplok, makalah ini akan mencoba berurunrembuk, yang pada akhirnya,
makalah ini akan melakukan “de” terhadap radikalisasi agama yang memang di mata
banyak orang tampak begitu seram layaknya monster. Karenanya, dalam memulai,
kita bahas lebih dulu kata ‘radikal’ dan ‘radikalisme’ itu sendiri.
Istilah radikal dan
radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”. Menurut The Concise
Oxford Dictionary (1987), berarti akar, sumber, atau asal mula.[1] Di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘radikal’ berarti ‘secara mendasar
(sampai kepada hal yang prinsip)’, amat keras menuntut perubahan
(undang-undang, pemerintahan), dan maju dalam berpikir atau bertindak.
Sedangkan kata ‘radikalisme’ memiliki arti ‘paham atau aliran yang radikal
dalam politik’, ‘paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan
sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis’, dan ‘sikap ekstrem
dalam aliran politik’.[2]
Secara lebih luas,
radikal memiliki konotasi yang lebih terbuka dan cenderung pada sesuatu yang
dasar, esensial, dan principal. Radikal juga bisa dikaitkan dengan semisal ilmu
sosial, ilmu ekonomi, politik, dan sebagainya. Contoh: ekonomi radikal.
Adapun term ‘radikalisme’,
dalam Kamus ilmiah popular karya M. Dahlan al-Barry berarti paham politik
negara yang menginginkan perubahan besar sebagai jalan untuk menggapai
kemajuan.[3]
Adapun Wikipedia menyodorkan
definisi secara lebih khusus, yakni radikalisme ialah suatu paham yang
dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan
sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.[4]
NETRALITAS RADIKAL
Radikal vis a vis Moderat
Dari kaca mata bahasa,
term radikal sebetulnya netral. Seperti Mitsuo Nakamura, menyebut bahwa NU merupakan
organisasi yang memiliki karakter tradisionalisme radikal. Term radikal diambil
olehnya untuk melukiskan bahwa NU adalah organisasi otonom dan independen,
bukan derivasi dari organisasi yang lain. (Asian South Asian Studies: 1981)
Secara politis, NU itu
kritis, terbuka, dan mendasar dalam berhadapan dengan status quo penguasa pada
orde baru, yakni Soeharto. NU juga menampakkan karakteristik keagamaan yang
konsisten. Dengan watak yang begitu mendasar inilah NU disebut organisasi radikal.
‘Radikal’ juga dipakai
antonim dari ‘moderat’, yang memvisualisasikan suatu tindakan jalan tengah saat
bertemu dengan perselisihan dengan suatu gagasan atau ide: berkompromi atau berkooperasi.
Sebagai kebalikan, radikal bermakna secara mempertahankan ide ketika berhadapan
dengan percekcokan dengan ide lain: tidak berkooperasi.[5]
Ada juga misal dalam
sejarah pergerakan nasional Indonesia terkait dengan radikal dan moderat ini: dikenal
dua strategi politik organisasi kebangsaan berkaitan dengan mewujudkan
Indonesia merdeka, yakni strategi non-kooperatif (radikal) dan kooperatif
(moderat).
Strategi radikal yaitu
sikap menentang secara keras terhadap kebijakan pemerintah kolonial dan tidak adanya
kooperasi dengan pemerintah kolonial. Kalangan radikal bersikap, bahwa untuk memperoleh
kemerdekaan, mesti dengan jerih lelah bangsa sendiri dan bukan dengan intervensi
bangsa asing (Belanda). Sebaliknya, moderat bermakna sebagai satu perbuatan terbuka
terhadap kebijakan kolonial.
Kalangan moderat memiliki
pendapat bahwasannya untuk memperoleh kemerdekaan, tidak bisa menanggalkan kooperasi
dengan pelbagai bangsa atau kalangan lain yang berdiam di Indonesia kala itu, termasuk
dengan pemerintah penjajah. Dua strategi ini sama-sama bertujuan akhir tunggal,
yakni mewujudkan kemerdekaan. Dalam konteks ini, radikal dan moderat berpengertian
yang positif. Misal lain, kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 tidak akan tergapai tanpa
ada dorongan kaum para radikalis, yang kala itu ialah para pemuda. [6]
Term radikal juga juga
bisa diberika pada gerakan Partai Komunis Indonesia yang pernah memberontak pada
1948 atau 1965: ekspresi radikal. Demikian pula berbagai Serikat Buruh Seluruh
Indonesia, Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia
untuk Demokrasi (SMID), yang memelopori berbagai aksi buruh juga termasuk
gerakan radikal.[7]
Agama Radikal
Akan tetapi, saat kata
‘radikal’ dikaitkan dengan agama, kata ini belakangan kerap dimaknai amat
sempit. Ada istilah misalnya Islam radikal, atau yang agak umum radikalisme
agama yang cenderung berasosiasi dan berbau Islam. UIN Syarif Hidayatullah misalnya,
membuat buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia” Di dalamnya
dijelaskan bahwa terdapat 4 kelompok yang dikategorikan ke dalam salafi radikal:
(1) Front Pembela Islam (FPI), (2) Laskar Jihad, (3) Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), dan (4) Hizbut Tahrir. Ironinya pemakaian salafi radikal di
sini amat bias tersebab apa yang dikehendaki dengan salafi dan apa pula yang dikehendaki
dengan radikal masih blur alias kabur.
Saat kata radikal atau
radikalisme diucapkan, yang terbayang di benak ialah terorisme, jenggot, jubah,
bom, garis keras, yang kesemuanya disematkan pada Islam. Sehingga seolah-olah
kata radikal itu tidak bisa lepas dari Islam, yang ujung-ujungnya citra Islam
tampak begitu buruk di mata public, bahkan di mata para penganutnya sendiri.
Dr. Mahathir Mohammad
mengatakan bahwa pihak non-Muslim bertanggung jawab dalam pemberian label
negatif terhadap Islam. Jika ada umat Islam melakukan kesalahan yang disalahkan
justru agama Islam. Stereotipe umat Islam disamakan dengan orang yang tidak
disiplin, orang terbelakang, tidak mengenal perikemanusiaan, fundamentalis yang
fanatik, dan teroris, padahal mereka tidak dapat membuktikannya secara hukum.
Mereka tidak pernah mengatakan Hitler sebagai teroris, padahal ia telah
membantai enam juta orang Yahudi selama perang Dunia II. Ini merupakan
kejahatan dunia terbesar abad ke-20, tetapi dunia lupa akan cap teroris kepada
Hitler. Sejarah merekam bahwa ada pembantaian massal orang-orang Albania di
Kosovo, yang sebelumnya telah dimulai pembantaian terhadap ratusan ribu umat
Islam Bosnia-Hergezovina. Hingga kini kita tak pernah menemukan labelisasi atas
Israel Radikal yang melakukan pembantaian dan penjajahan terhadap umat Islam di
tanah Gaza atau Syiah Radikal di Iran yang membantai Ahlussunah, memperkosa
wanitanya, membunuh anak-anaknya, dan membakar masjidnya. Sangat disesalkan mereka
yang melakukan pembantaian tidak pernah dijuluki sebagai “teroris Eropa” dan
“teroris Kristen”. Bahkan, umat Islam sendiri ikut-ikutan menjuluki Islam
sebagai radikal-teroris terhadap Islam.[8]
Bahkan belakangan,
pemerintah menutup situs-situs yang dianggap berbau radikal. Dan situs-situs
berbau radikal itu tiada lain situs-situs Islami. Juru bicara yang mendatangi
Kantor Kominfo menjelaskan definisi radikalisme. Para awak media Islam ini
tetap ingin mengklarifikasi soal radikalisme yang dipahami oleh BNPT dan
masyarakat umum. Pemimpin Redaksi hidayatullah.com, Mahladi mengatakan bahwa,
apabila arti radikal diartikan dengan shalat tahajud, shalat berjamaah tepat
waktu di masjid, berjanggut, jidat hitam, atau celana yang menggantung di atas
kaki, “berarti kita radikal semua”, katanya. Dia menjelaskan bahwa radikal memiliki
arti akar, yang sama dengan arti fundamental. Islam radikal memiliki arti
belajar Islam hingga ke akar. Dia mempertanyakan definisi radikal yang
dilayangkan oleh BNPT kepada awak media Islami. [9]
Jadi sebenarnya ada apa
dengan kata radikal? Ia telah menjadi monster yang menakutkan dan disematkan
pada Islam. Istilah radikal diidentikkan dengan faham atau aktivitas fisik yang
keras yang dilakukan oleh umat Islam. Tak jauh berbeda dengan istilah teroris
yang dinisbatkan kepada umat Islam. Jika pelakunya bukan muslim, maka tidak
disebut teroris atau radikalis, tetapi hanya perbuatan kriminal murni.
Pada tataran
selanjutnya, dalam upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme muncul wacana
strategi deradikalisasi, yaitu upaya untuk memutus rantai radikalisme, yang
berangkat dari asumsi pemicu terorisme adalah radikalisme.
Maka ketika isu ISIS
mencuat yang disinyalir banyak melakukan tindakan kekerasan yang brutal, wacana
deradikalisasi menguat kembali, yang berikutnya muncul isu adanya situs Islam
radikal yang berujung pada pembredelan situs-situs yang dikelola oleh beberapa
komunitas atau organisasi Islam.
Fenomena terorisme
sendiri bagi sebagian besar umat Islam masih menjadi tanda tanya, kendatipun
berbagai wacana dan kajian tentang ini sudah banyak dilakukan, namun
identifikasi penyebab masih kabur.
Siapakah sebenarnya
pelaku terorisme dan apa motif dibalik aksi terorisme. Namun yang jelas, semua
ormas Islam yang resmi di nagara ini sama-sama menyatakan bahwa praktik terorisme
bukanlah bagian dari Islam dan bahkan antithesis Islam. Tidak terkecuali
ormas-ormas yang sering distigma sebagai ormas garis keras seperti Fron Pembela
Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahiddin Indonesia
(MMI).
Majelis Ulama Indonesia
(MUI) sendiri telah mengeluarkan fatwa tentang terorisme. Menurut fatwa MUI,
terorisme hukunya haram dilakukan oleh siapapun dengan tujuan apapun. Dalam
fatwa MUI juga dijelaskan perbedaan secara nyata antara terorisme dengan jihad.
Jihad sifatnya untuk melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan cara
peperangan, tujuannya menegakkan agama Allah dan membela hak-hak pihak yang
terzalimi, serta dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh
syari’at dengan sasaran musuh yang sudah jelas. Sementara itu, terorisme
sifatnya merusak (ifsad) dan anarkhis atau chaos, tujuannya untuk
menciptakan rasa takut dan atau menghancurkan pihak lain, serta dilakukan tanpa
aturan yang jelas dan sasaranya tanpa batas.[10]
Dari sini sudah jelas
bahwa Islam melarang terorisme yang berupa pengeboman atau pengrusakan. Namun
sekali lagi, pikiran kita telah diisi citra-citra buruk Islam, yang seolah
teroris itu tiada lain kecuali Islam itu sendiri. Padahal, sejarah merekam
bahwa kalangan selain Islam jauh lebih banyak dalam melakukan tindakan
terorisme, kekerasan, penjarahan, pembantaian, pengrusakan, penyiksaan,
pemerkosaan masal, dan berbagai aksi asusila dan tindak chaos lainnya.
PADA AKHIRNYA …
Deradikalisasi Agama
Dari penjelasan di
atas kita mendapatkan kesimpulan bahwa ada labelisasi sepihak. Radikal itu
tiada lain adalah Islam dan selain Islam bukan radikal. Bahkan, mereka yang
hanya berjenggot, berjubah, dan tidak melakukan pernah melakukan tindak
kekerasan sedikitpun dicurigai dan bahkan ada yang sampai melabeli sebagai
radikalis.
Maka, dari fenomena
ini, sebetulnya, label radikal (jika dianggap sebagai monster yang mengerikan),
tidak pas dilabelkan pada Islam. Jika pun mau dilabelkan pada Islam maka
sebetulnya mereka yang banyak mengkritik agama, al-Quran, dan hadis, yang
mengatasnamakan humanisme dan kontekstualisasi sebetulnya cocok untuk dilabeli
radikal. Mereka tiada lain adalah kalangan sekuler-liberal, yang
melabel-labelkan radikal kepada kalangan yang tidak sependapat dengan mereka,
padahal mereka sendiri radikal.
Bahwa pemahaman Islam
yang al-ma’lum minad-din bidh-dharurah (diketahui dalam agama secara
pasti), seperti Islam sebagai satu-satunya agama yang benar, mereka kritik
habis-habisan dan disebut sebagai pemahaman yang intoleran terhadap penganut
agama lain. Justru para penggiat kebenaran semua agama inilah yang patut untuk
disebut radikal. Sebagaimana definisi disebutkan di depan, bahwa radikal ialah
kalangan yang menuntut perubahan besar-besaran terhadap suatu “tiang dan
pondasi” yang telah mapan.
Akhirnya, upaya
deradikalisasi agama dapat kita maknai sebagai, suatu tindakan untuk
mensterilkan agama dari paham-paham yang ekstrem, baik itu ekstrem kanan maupun
ekstrem kiri.[]
Bacaan Lebih Lanjut
The Concise Oxford Dictionary.
cetakan tahun 1987
Software KBBI
Offline
M. Dahlan
al-Barry dan Pius A. Partanto. Kamus Ilmiah Populer. Arkola Surabaya
https://id.wikipedia.org/wiki/Radikalisme
Dr. AM.
Saefuddin. Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim. Gema Insani Press. Cet I
1996
Mahathir
Mohamad. Terrorism and the Real Issues. Subang Jaya: Selangor Malaysia.
Pelanduk Publications Cet. I 2003. hal. 9
Republika edisi
31 Maret 2015
Hasil Ijtima
Ulama MUI tahun 2015
[1] The
Concise Oxford Dictionary,
cetakan tahun 1987,
hal. 122
[2] Software KBBI Offline
[3] M. Dahlan al-Barry dan Pius A.
Partanto, Kamus Ilmiah Populer, Arkola Surabaya, hal.98
[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Radikalisme
[5] Dr. AM. Saefuddin, Ijtihad
Politik Cendekiawan Muslim, Gema Insani Press, Cet I 1996, hal. 43
[6] Ibid, hal. 51
[7] Ibid, hal. 54
[8] Mahathir Mohamad, Terrorism and the
Real Issues, Subang Jaya: Selangor Malaysia, Pelanduk Publications, Cet. I
2003, hal. 9
[9] Republika edisi 31 Maret 2015
[10] Hasil Ijtima Ulama MUI tahun 2015
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar! '-'