Sunday 17 March 2019

Amunisi buat Mereka yang Hendak Menikah

Ketika hati sedang saling terpaut, bermusyawarah membahas suatu hal yang perlu dibahas menggunakan bahasa romantis dengan istri, saat itu lah keteduhan dan ketenangan turun ke hati. Namun, ketika berbicara berdua sambil membawa amunisi emosi masing-masing, saat itulah kiamat seperti datang. Ada sumpah serapah dan kalimat-kalimat yang menuntut kesempurnaan, saling menyodorkan kelebihan dan kebaikan masing-masing. Yang jomblo belum merasakan dua kondisi ini.
Ini hanya peringatan kepada mereka yang belum memasuki jenjang pernikahan, untuk tidak sekadar mengangguk dan merasa optimis dengan teori dan nasihat perkawinan yang menjadi bekal sebelum duduk di pelaminan dan melanjutkan estafet perjalanan rumah tangga.
Bukan maksud menakut-nakuti. Perjalanan pasca pernikahan tidak cukup mampu dilalui dengan baik jika hanya mengandalkan uang dan materi yang banyak, namun melupakan kesiapan mental spiritual, emosional, dan intelektual.
Para artis itu, Anda tahu kan, mengapa narasi yang sampai kepada kita tentang mereka adalah kawin-cerai-kawin-cerai? Jangan tanya tentang kesiapan materi dan uang. Sebagai penyanyi band yang sekali manggung meraup puluhan bahkan ratusan juta, pemain sinetron dan bintang iklan yang dikontrak dengan uang yang tidak sedikit, kesiapan materi dan uang menjelang menikah, adalah jago mereka. Namun, kurangnya kekuatan mental emosional, spiritual, dan intelektual telah melahirkan narasi kawin-cerai-kawin-cerai itu.
Segunung uang dan materi belum tentu bisa menciptakan kedekatan romantis yang saya sebutkan di muka. Kedekatan romantis tercipta dari ilmu dan akhlak. Misal ilmu tentang cinta dan hak-hak masing-masing suami dan istri, dan akhlak tentang saling mengalah, tidak saling memaksakan kebenaran sehingga timbul debat kusir.
Kendati ketika syuting sinetron atau film para artis itu begitu jago dalam menjadi orang alim, shalih, dan pribadi yang ideal yang bisa menjadi teladan, namun kehidupan nyata mereka belum tentu menampakkan kebaikan di atas. Ustad dalam sinetron dan film bisa jadi malah "preman" dalam rumah tangganya.
Karena hidup berumah tangga adalah praktik, tidak sekadar teori bijak perihal nasihat pengantin, adakalanya pasangan yang masih muda dan jomblo yang hendak menikah tidak gengsi meminta nasihat kepada para pendahulu yang telah menjalani kehidupan rumah tangga, terutama orang tua dan mertua.
Kadang ada pasutri yang menjalani bulan-bulan awal menikah dengan kelewat percaya diri, sehingga banyak hal yang berkenaan dengan hubungan dan berumah tangga terlewati, misalnya tentang menjaga adab kepada mertua, menghormati dan menghargai pasangan, juga tradisi, budaya, lingkungan, dan keluarga baru yang semestinya diperhatikan kemudian diadaptasi.
Perjalanan pasutri pada bulan-bulan awal pernikahan biasanya dipenuhi dengan kegundahan dan kebingungan berkenaan dengan ekonomi, tempat tinggal, visi dan misi masa mendatang, dan sebagainya. Di sini, pada tahap ini, pasutri benar-benar diuji. Hal ini meniscayakan suami untuk benar-benar menjadi laki sejati, belajar memutuskan sesuatu dengan bijak dan berdasarkan hati nurani. Istri juga belajar menjadi partner yang baik, yang mau mempertahankan ketabahan dan mau berpendapat manakala suami membutuhkan solusi.
Sampai pada titik ini, menikah adalah persiapan. Tetapi bukan berarti dengan dalih masih belum siap, seseorang lari dari pernikahan sembari menghabiskan kejombloan dengan melakukan hal-hal yang melanggar norma-norma agama. Ini justru bukan persiapan, melainkan bentuk pelanggaran norma dengan topeng masih belum siap menikah. Selain berdosa, juga mengurangi keberkahan. Percayalah, jika pernikahan dilakukan dengan niat yang bersih dan tulus, Allah akan membantu dan menanggung, sesuai firman-Nya:
إن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله
Yang maknanya kira-kira begini: andai mereka yang berazam untuk menikah fakir, Allah yang akan mencukupi mereka dengan karunia-Nya.
Wal-Lahu a'lam..

Share:

0 comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar! '-'