Friday 22 March 2019

Posisi Fanatisme bagi Pendakwah

Dalam interaksi sosial sehari-hari, nalar-logis kerap marginal. Hubungan antar satu manusia dengan manusia yang lain diikat oleh cinta dan benci. Tolok ukur kebenaran dalam interaksi sosial sehari-hari tidak lagi soal mana yang benar dan mana yang salah, melainkan mana yang disukai dan mana yang dibenci.
Sebagai contoh, manakala kita mencintai Pak Tejo, tak jarang kita menilai kebanyakan tindak langkah dan ucapannya benar. Alasan penilaian benar kita terhadap tindak langkah Pak Tejo dan ucapannya, bukan kaca mata objektif melainkan kaca mata subjektif, yang dalam konteks ini adalah cinta.
Hal berlaku sebaliknya, manakala kita membenci Pak Budi, kita akan menilai kebanyakan tindak langkah dan ucapannya keliru. Tolok ukur penilaian kita adalah emosi, bukan nalar yang logis.
Dituturkan Imam asy-Syafii, "Pandangan simpati menutup segala cela, dan pandangan benci membuka segala cacat."
Dalam dunia sufistis, fanatik termasuk penyakit yang mengotori hati, karena dapat membutakan seseorang dari kebenaran sejati dan hakiki. Tetapi, bukan berarti tasawuf tidak menoleransi sikap fanatik. Pada dakwah dalam konteks interaksi sosial sehari-hari, kita dianjurkan untuk mengedepankan akhlak tinimbang kebenaran. Akhlak yang baik dapat meluluhkan hati manusia tinimbang argumen yang membungkam. Akhlak dapat merasuk ke dalam sosio-kultural masyarakat dan mempunyai pengaruh besar dalam mengubah kecenderungan hati masyarakat.
Di sini, anjuran atau perintah untuk membuang jauh-jauh sifat fanatik ditujukan kepada subjek dakwah alias pelaku dakwah.
Manusia akan mudah melakukan sesuatu dengan sepenuh hati manakala hatinya tidak merasa terbebani dan tidak terpaksa. Jika dipaksa, manusia bisa jadi tetap melakukan kebaikan sebagaimana diserukan oleh pelaku dakwah, namun kebaikan yang ia lakukan tidak timbul dari dorongan hati, melainkan dari ketakutan karena faktor dipaksa itu tadi.
Subjek dakwah atau pelaku dakwah dituntut untuk selalu mengalah, mengesampingkan nalar-logis, kendati ia berada di pihak yang benar dan mempunyai amunisi argumen yang membungkam.
Kebanyakan manusia menyimpan fanatisme yang bercokol di hati mereka, sedikit atau banyak. Meluluhkan hati manusia yang menyimpan fanatisme tidak dianjurkan dengan hujjah atau argumentasi, melainkan dengan tatakrama dan tutur halus-lembut. Menghadapi manusia yang menyimpan sikap fanatik dengan argumen justru tidak akan membuatnya menuju apa yang kita serukan, melainkan malah berbalik arah pada apa yang tidak kita inginkan.
Manakala pelaku dakwah sudah dibenci, ia hanya punya pintu amat kecil agar seruan atau ajakannya dapat diterima. Berbeda dengan pelaku dakwah yang mengedepankan akhlak, ia akan mudah diterima oleh masyarakatnya. Ucapannya menjadi sabda, tindak lakunya kerap dibenarkan.
Anggap saja, orang-orang fanatik itu orang bodoh. Dan mereka yang membuang jauh-jauh sifat fanatisme, adalah orang pintar. Dalam konteks ini, ada sebuah kalimat bijak: berinteraksi dengan orang-orang pintar, nalar-logis didahulukan daripada adab. Sedangkan berinterkasi dengan orang-orang bodoh, adab didahulukan daripada nalar-logis.
Oleh karena itu, orang berilmu diajurkan sebisa mungkin untuk membuang jauh-jauh fanatisme, sebab keharusan orang berilmu adalah nalar-logis ketika menjadi objek dakwah, dan adab ketika menjadi subjek dakwah. Ingat, kita berbicara dakwah dalam konteksi interaksi-sosial masyarakat sehari-hari.
Orang yang berilmu boleh saja tidak menyetujui pandangan seseorang, sebab, sebagaimana maklum, isi kepala setiap manusia berbeda-beda, dan selagi perbedaan itu masuk dalam ranah furuiyah atau asumtif dalam agama, sikap toleransi mesti dikedepankan. Dengan ungkapan lain, secara pemikiran, kita boleh berbeda, namun secara sosial, kita harus membina hubungan yang baik dengan orang lain.
Implikasi dari semua penjelasan di ata, orang berilmu kerap mendapatkan "diskriminasi", ketidakadilan dalam keharusab bersikap. Ketika menjadi objek dakwah, ia harus mengedepankan nalar-logis, kendati subjek dakwahnya adalah orang yang ia benci, dan ketika ia berkapasitas sebagai subjek dakwah, ia mesti mengedankan adab dan akhlak.
Oleh karena itu, orang berilmu tidak saja dituntut untuk pandai berargumen dan berbicara, melainkan dituntut untuk menerima argumen dan banyak mendengar. Karena, seringkali masyarakat mencari-cari dokter, padahal yang mereka butuhkan adalah seorang pendengar yang baik.

Share:

0 comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar! '-'