Rakyat Indonesia punya dasar dan ideologi sendiri tentang
demokrasi. Dalam sila keempat disebutkan, permusyawaratan dan kebersamaan
rakyat, seperti dalam al-Quran; musyawarah dan jamaah. Makanya, ideologi
Pancasila diterima oleh NU karena isinya sesuai dengan paradigma al-Quran.
Kita bisa bangga karena bangsa kita adalah bangsa yang
demokratis. Memang, pada abad ke-20 ini, kita cenderung terikut wacana-wacana
modern, seperti HAM (Hak Asasi Manusia), toleransi, gender dan salah satunya
adalah demokrasi.
Ya, sistem demokrasi merupakan harga mati bagi Indonesia, sebab
memang disebutkan dalam sila keempat. Tapi, kiranya perlu di-vis a vis-kan
antara demokrasi liberal dengan demokrasi pancasila. Sebab keduanya
centang-perentang dan sulit untuk ditemukan titik temu. Tanpa ada pemilahan
itu, sistem demokrasi di Indonesia tidak bisa “sakti”, jika demokrasi liberal
ala Barat diambil secara taken for granted, tanpa modifikasi.
Demokrasi Indonesia adalah musyawarah mufakat, atau dalam bahasa
Jawa dikenal dengan istilah rembug. Bangsa Indonesia masih mementingkan
nilai-nilai universal, mempertimbangkan kultur, norma dan agama. Demokrasi bagi
Indonesia sekadar cara mencapai tujuan untuk membuat pemerintahan yang bersih
bersama rakyat.
Barat yang tidak mau kebebasannya dikebiri, pantas kiranya
menerapkan ekses demokrasinya sendiri. Barat mengabaikan agama, etika dan
budaya. Demokrasi dipandang sebagai tujuan merealisasikan kekuasaan sepenuhnya
kepada rakyat.
Dulu, sejak bertahun-tahun, pendahulu kita menerapkan sistem musyawarah
mufakat. Musyawarah mufakat sendiri merupakan serapan dari bahasa arab yang
kemudian secara kultural mengakar di masyarakat. Bila digali, masyarakat
Indonesia sejak dulu telah menggunakan musyawarah mufakat untuk memunculkan
suatu keputusan.
Presiden Soekarno merasa khawatir akan kemunculan demokrasi
liberal ala Barat itu. Sang Proklamator pertama menawarkan antitesis terhadap
wacana demokrasi liberal yang tidak sesuai dengan konteks keindonesiaan. Namun,
sejak orde baru digulingkan pada 1998, Indonesia malah menerima hadiah
demokrasi tanpa ada penyaringan.
Maka, setiap pemilu berlangsung, benturan antar tim sukses jadi
konsekuensinya. Kepentingan subjektif kelompok dibungkus dalam jargon
kepentingan umum. Gugat menggugat di pengadilan. Money politic, atau
jika dikelola dengan bahasa yang lebih halus, cost of politic.
Seperti balapan mobil. Kisruh sana-sini. Finish-nya
adalah tangan rakyat. Karung terbesar dengan volume tangan terbanyak, dia lah
yang diproklamirkan sebagai “pemenang”. Untuk memenangkan balapan ini, bisa
dengan cara serawungan membagi-bagikan sedekah, meminta iba hati rakyat,
mencari tim sukses, atau mengisi space iklan di media publik, agar jargon
politisnya bisa tampak jelentreh. Yang ada bukannya membela yang benar,
tapi membela yang bayar. Takheran jika penyanyi dangdut pun bisa saja
meloloskan diri menjadi kandidat presiden pada 2014 nanti. Kita yang tergoda,
kita yang menerima hasil pemimpinnya.
Ini akibat dari kita yang kurang cerdas menerima nilai-nilai
universal dari luar, tanpa dimodifikasi sesuai norma, tradisi, budaya dan agama
yang ada di masyarakat selama ini. Demokrasi hanyalah kulit luar, dan yang
paling penting adalah isinya, sesuaikah dengan nilai-nilai atau aturan hukum
yang berlaku? Jika tidak sesuai, bukan demokrasi namanya, tapi democrazy.
Hal-hal baru itu lebih baik, tapi yang dulu juga baik. “al-Muhâfazhatu
‘alal-qadîm ash-Shâlih wal-akhdu bil-jadîd al-Ashlah”.[]
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar! '-'